Sabtu, 06 April 2019

Membincang Pondok Pesantren #part2

~~~

Beberapa orang dengan pemikiran saat ini, memandang sebelah mata posisi santri masa dahulu dalam hal keberkahan. Bahwa sejatinya, keberkahan didapat dari keistikamahan dalam melakukan kebajikan. Padahal, sesuatu disebut berkah adalah atsar atau akibat dari apa yang telah diusahakan dan diyakini.

Dan hal paling lazim dari background pesantren yang pernah dirasakan hampir setiap santri adalah penyakit gudik (penyakit kulit sejenis jamur, gatal, dan bernanah). Oleh pemikiran orang zaman sekarang, hal itu bukan sebuah keefektifan dan mencerminkan kehidupan yang jauh dari kebersihan. Secara rasional, memang seperti itu adanya. Tapi, tidak bisa dipungkiri. Akhir-akhir ini yang bisa kita jumpai banyak pesantren modern dengan sistem pendidikan yang maju dengan kehidupan pondok terjamin keseharian dan kebersihannya, santri tetap tak bisa diselamatkan dari penyakit kulit tersebut. Menurut alumnus santri kebanyakan, justru dari situlah stempel 'santri' sudah benar-benar paten.

Kemudian, hal paling lucu adalah ketika karomah seorang kiai dipertanyakan. Para milenial lebih percaya sistem yang berlaku dalam sebuah organisasi -hal ini mencakup kepesantrenan- ketimbang hal-hal tak kasat mata serupa rida juga karomah kiai. Bahwa kepemimpinan bukan diukur dari keturunan. Sekali lagi, dirasionalkan memang benar adanya. Namun, meyakini karomah dan keberkahan seorang kiai, keluarga beserta keturunannya merupakan hal yang dipercayai santri mengantar pada hidup yang lebih tenang.

Tulisan ini bukan untuk mengkritik pihak mana pun. Ini murni pemikiran pribadi atas keresahan tentang pondok pesantren yang semakin bergeser dan meluas maknanya.

Terima kasih, sudah berkenan membaca😄



🖤
Tuban 06042019
#muthyaasadeea #tulisandee #ceritadee #santrineyaibuhin #mambaussholihin

1 komentar:

  1. Terlalu luas deh Mbak cakupan tulisannya. Jadi bingung deh mau komentar dari mana. Hahahahhaa...

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee