~~~
Hai!
Kenalkan, aku Dee. Terlahir dengan nama yang harus dieja
dengan fasih, Muthi’atus Sa’diyah Al-Hadi. Tiga suku kata di belakang itu bukan
nama marga, tapi nama abah. Kata ibu, beliau terinspirasi dari temannya pas di
pesantren dulu, ada nama sang bapak di belakang namanya. Jadi, Al-Hadi bukan
nama beken di belakang nama panjang, ya.
Panggilannya jauh amat dari nama aslinya?
Jadi ceritanya, aku dipanggil Diyah. Para orang-orang tua memanggilku dengan suku kata terakhir -"Yah"- dan aku sangat tidak menyukainya. Itu kayak nama Mbah Yah, tetangga nenek di kampung. Hasilnya, aku memutuskan untuk menyebut diriku sendiri dengan sebutan "DI". Biar ng-Inggris, huruf "I" kukonversikan ke dobel "E".
Aku putri sulung dari empat bersaudara dengan kisah masa
kecil paling menyedihkan, bagi yang mendengarnya. Tapi syukurlah, aku menjalaninya dengan
bahagia. Karena jarak umur dengan adik-adik hanya beda tiga tahun, aku dipaksa
dewasa. Tidak mengapa. Karena jika tidak begitu, mungkin
saat ini aku akan jadi sosok egois.
Terlahir Berbeda
Aku tidak sama dengan kebanyakan perempuan normal biasanya. Aku kecil selalu bertanya pada ibu, kenapa aku terlahir berbeda tak selayaknya
gadis yang berparas cantik? Dan aku masih ingat jawaban ibu waktu itu. “Rupane
wong gak iso dipesen, Nduk. Sing penting, sampeyan tetep anak Ibu.” (Rupa
seseorang tidak bisa dipesan. Yang penting, kamu tetap anak Ibu). Nggak kebayang
jika ibu atau abah menyesal melahirkanku yang kurang sempurna waktu itu.
Aku tumbuh dengan pribadi percaya pada kemampuan yang kumiliki
sekalipun ada beberapa waktu yang membuat minder di sisi lain. Aku lebih
suka diam, bukan berarti aku tak percaya diri. Menurutku, sedikit bicara adalah
caraku belajar dari sekelilingku. Dari ibu pula aku diajarkan cantik dari
dalam, yang intinya bisa menempatkan diri.
Jadi Bahan Bullyan
Yang aku takutkan terjadi. Sekitar kelas 2-3 SD, aku kenyang
dengan bullyan teman-teman sekelasku. Prestasi dan rankingku bahkan dipandang
sebelah mata. Dari situ aku belajar, bahwa nilai bukan prioritasku. Hampir
tiap hari aku pulang sekolah dengan keadaan menangis. Abah ibuku yang bekerja
di luar rumah, tidak pernah tahu tentang ini hingga akhirnya aku dewasa dan
menceritakannya.
Namun, justru karena peristiwa itu, aku menemukan hikmah
lainnya. Aku yang sedari kecil memang sudah suka membaca –tapi tidak diizinkan
ibu membeli buku bacaan (bahkan buku pelajaran hanya disuruh pinjam kakak kelas
yang juga tetangga)- lebih banyak menghabiskan waktu sekolahku di
perpustakaan. Semua buku kulahap tanpa pilih-pilih judul, genre atau bahkan
cover.
Hingga tiba masa kelulusan, aku menyadari satu hal. Bullyan yang
kuterima bukan tersebab mereka membenciku. Mereka hanya belum mengenal apa itu
perbedaan, toleransi, dan kedewasaan. Dan aku bersyukur karena sampai sekarang,
mantan pembullyku justru jadi teman-teman terhebatku.
Keukeuh Nyantri
Kenyang dengan bullyan semasa SD, aku ngotot minta
dipondokkan. Atau sebenarnya, aku tidak ingin tinggal di rumah. Aku ingin
belajar jauh dari lingkungan orang-orang yang mengenalku. Meski abah dan ibu
bahagia mendengar keinginanku untuk nyantri dengan usia dini, tetap saja mereka
merasa berat melepas putri sulung mereka ke pesantren. Dan tak
tanggung-tanggung, aku menjatuhkan pilihan di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak
Beras, Jombang. Cukup jauh untuk ukuran anak lulusan SD.
Nasibku berubah dari sini. Aku mendapat banyak teman yang
melihatku dengan normal dan sangat menghargaiku. Selain itu, mereka juga
mendapati kelebihanku yang bisa mereka banggakan. Aku juga aktif berorganisasi
atas ajakan teman-teman serta dukungan dewan guru. Aku benar-benar bahagia
dikelilingi orang-orang dengan aura positif.
Namun, sayang. Aku merasa harus keluar dari zona nyaman. Karena
sekalipun aku bahagia secara zahir, batiniahku gersang. Sisi religiositasku perlu
dipertanyakan. Tiga tahun nyantri, tidak mengenal apa itu dhuha atau tahajud. Tidak
sekalipun dalam ramadhan bisa mengkhatamkan quran. Dan parahnya, ukuran juz
amma, aku tidak bisa bisa menghafalnya kecuali al-fiil sampai belakang.
Memilih Suci
Pasca kelulusan MTs, aku melakukan survei ke beberapa pesantren yang benar-benar bisa mengubahku ke arah yang jauh lebih baik. Dan Mambaus
Sholihin menjadi pilihan terakhirku meskipun saat itu aku sangat tahu bahwa
kemungkinannya sangat kecil aku bisa bertahan. Secara, basic pemblejaran di
Bahrul Ulum yang cenderung bebas, berbanding terbalik dengan Mambaus Sholihin
yang 90% salaf. Namun, entah mengapa, aku merasa mantap hati.
Sayangnya, semua tidak berjalan sesuai bayanganku. Berpengalaman
hidup dengan serba kemudahan di Tambak Beras, membuatku lupa sejenak masa
laluku yang pernah dibully. Dan itu terulang di Suci. Tak tanggung-tanggung. Pembullyan
mengarah padaku dari teman seangkatan. Di sekolah dan di pesantren akan
dipertemukan dengan orang-orang yang sama sehingga aku merasa sesak sekadar
untuk bernapas.
Suatu hari, ibu menawarkanku untuk boyong (keluar pondok di tengah tahun) saja. Aku menolaknya
keras. Sejak kecil, aku tidak pernah diajarkan menjilat ludahku sendiri. Aku harus
bertanggung jawab pada pilihan yang sudah kuputuskan. Dan aku memilih untuk
bertahan. Aku bisa mendefinisikan “kuat” ketika berada di posisi itu.
Kembali Pulang
Empat tahun di Suci mengukirkan banyak kenangan. Aku mendapati
diriku menjadi pribadi lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya, aku sudah
terbiasa dengan dhuha, tahajud, dan tilawah. Itu khas pesantren, kan? Aku juga
merasakan ikatan batin dengan Kiai, yang itu tidak kudapatkan di Tambak Beras.
Jika saja bisa diulang, aku tak ingin mencukupkan empat
tahunku di Mambaus Sholihin. Sayangnya, takdir memaksaku pulang. Dan skenario
besar tentang perjalanan hidupku dimulai justru ketika aku telah kembali
pulang. Ya! Mengenal banyak orang dengan isi kepala berbeda yang belum pernah
kutemukan selama menghabiskan tujuh tahunku di pesantren. Aku kembali pada
keterasingan di tanah kelahiranku sendiri.
Selamat Datang Realita
Bukan kehidupan namanya jika hanya berjalan di tempat. Aku tidak
berniat memublikasikannya. Namun, dengan kegemaranku menulis, aku mengukirkan
ceritaku sendiri melalui beberapa tulisan. Itu tidak berarti setiap cerita yang
aku bagikan merupakan bagian dari hidupku. Karena aku juga sosok pendengar yang
biak (bagi mereka yang pernah curhat langsung), maka tak jarang, cerita-cerita
mereka juga bisa menjadi sumber inspirasiku.
Karena ini kehidupan, kita yang jalani, Allah yang tentukan,
namun tetap saja orang lain yang berkomentar, maka aku harus mencari kesibukan yang
bisa membuatku tidak sekadar duduk di depan laptop atau tiduran sambil baca
buku. Dengan begitu, aku akan terlihat hidup normal seperti kebanyakan orang,
kan?
Jadi, masih ada lagi yang perlu dibahas?
Sepertinya, langsung nikmati tulisanku. Mohon maaf jika kurang bermanfaat, abaikan saja. Jika baik, semoga bisa menjadi inspirasi kalian dan jariah untukku.
Tanah Kelahiranku
Dengan hati penuh syukur, Dee
al-faqiir ilaa rohmati robbihaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee