~Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat (23:29)~
🖤
Terlahir dengan tidak sempurna, tak lantas membuatku mengeluh sejak kecil. Ibu sudah mendidikku dengan penuh kasih sayang dan menanamkan rasa percaya diri bahwa setiap makhluk-Nya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Aku bersyukur, terlahir dari rahim sosok ibu pejuang keras, pantang menyerah, selalu semangat, penyabar serta husnuzan pada apapun dan siapapun. Dan kini, mendewasalah aku seperti sosoknya.
Sempat minder, tidak percaya diri, dulu masih zaman SD. Dibully sudah jadi makanan sehari-hari. Untung saja, sejak kecil aku sudah mencintai buku. Sehingga, masa kanak-kanakku (khususnya waktu sekolah) habis di perpustakaan. Dalam kurun waktu enam tahun, buku di 8 rak perpustakaan SD berhasil aku jelajahi semua.
Untuk masalah hati, aku cenderung introver. Aku suka menuliskannya. Iya! Sejak SD, aku sudah rutin menulis buku harian. Jadi lucu saat kubaca kembali akhir-akhir ini. Mungkin, bisa dibilang, dari situ aku mulai mencintai menulis.
Lulus SD, aku bersikukuh ingin mondok, mungkin karena kenyang dengan bullyan. Dan Bahrul Ulum menjadi pilihan. Sempat takut kalau aku tidak diterima. Bukan oleh pondok atau sekolahnya, tapi oleh orang-orang baru. Namun, realita yang kudapati jauh lebih baik dari ekspektasiku.
Meski cuma 3 tahun, aku bahagia. Dari sana aku belajar berorganisasi, mengenal banyak orang, bergaul dengan siapa saja (ibu kantin, tukang sapu, juru kunci). Walaupun aku menjadi santri yang kurang taat, justru pengalaman nakal itulah yang membuatku jadi semakin bisa memahami kehidupan.
Merasa tak ada perubahan dalam hal religiositas, aku memutuskan hijrah dan mantap ke tanah Suci, Mambaus Sholihin, Gresik. Kaget sekali mendapati pesantren salaf dengan aturan seketat itu setelah dari Bahrul Ulum yang cenderung modern. Namun, ibu sudah mengajarkanku bahwa kita wajib bertanggung jawab untuk setiap keputusan yang dibuat. Jadi, mau tak mau, suka tak suka, aku bertahan.
Empat tahunku di Suci isinya nano-nano. Sempat kena bully dan nggak tanggung-tanggung, seangkatan. Menjadi semakin rajin puasa dan ibadah sunnah lainnya. Tidak mengenal satu jenis laki-laki pun selain keamanan putra di pos penjagaan jenguk.
Di pondok, novel atau cerita bernuansa roman, sangat terlarang. Bisa kena razia dan dirampas. Bermula dari situ, aku membuat cerita dengan khayalanku sendiri. Sedari MTs, sudah aktif mengisi mading dan majalah sekolah. Sekadar cerpen dengan gaya khas anak era 90an. Maka, dari Suci inilah aku pertama kali menulis novel. Iya, menulis dengan tangan.
Tak terhitung berapa buku tulis yang tersulap menjadi naskah novel. Dan itu laris. Dibaca teman-teman seangkatan (yang jumlahnya lebih dari 200) sampai pada kakak dan adik kelas. Kiprah kepenulisanku sudah diakui tingkat pondok. Dan aku dipercaya jadi sutradara untuk setiap pensi angkatan.
Aku menemukan duniaku. Menulis. Meski cuma fiksi, aku bersyukur menuliskan hal bermanfaat yang bisa membangun emosi pembaca. Meski semakin ke sini, aku semakin sadar, bahwa sudah seharusnya aku keluar dari zona nyaman.
Hhh!
Tak percaya rasanya bisa menulis sepanjang ini dalam sekali duduk. Rasa-rasanya masih kurang panjang sekali. Menuliskan setiap kepingan masaku di tanah tertentu. Dunia SD, MTs, MA, kuliah hingga saat ini bekerja.
Ah, Allaah Mahabaik. Aku speechlessO:-)
🖤
Tuban, 181018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOPBatch_6
Ma syaa Allah barakallahu fiyk mbaaaak.. salam buat ibuk yaaa mbaaak
BalasHapusSetiap orang ounya kelebihan masing masing ya mbak, bener banget kudu bersyukur : )
BalasHapusKereeen mbak. Aku nulis ngga selesai2 😅😅
BalasHapus