Rabu, 07 November 2018

Tulisan Fiksi dari Kaca Mataku

~Kenapa harus fiksi?~
🖤



Sejatinya, aku suka menulis (dalam arti sesungguhnya). Koleksi dyariku dari jaman SD sampek udah setua ini, masih ada. Orang-orang sekelilingku pasti hafal, bahwa aku mencintai buku dan semua pernak-perniknya. Pen segala warna, alat tulis lengkap (dari pensil, penghapus, penggaris, tipe x, dan sebagainya) tak pernah absen dari kotak pensil yang selalu sepaket dengan organizerku.

Aku suka berimajinasi, sejak kecil. Menuliskan hal-hal sederhana. Pernah sewaktu masih kelas 2 SD kalau nggak salah, ditanya sama seorang guru, "Dee, dewasa kelak, kamu ingin jadi apa?" Dan aku inget banget, aku jawab, "burung". Seisi ruangan (lebih tepatnya kantor guru) tertawa bahkan hingga terbahak-bahak. Aku jadi bertanya-tanya, salahnya jawabanku di mana.

Mungkin, dari situ akhirnya aku mulai menuliskan imajinasiku. Keinginanku menjadi burung mengandung makna tersirat. Aku ingin terbang. Ya kali, aku manusia pengen jadi burung *gubrak!

Aku menemukan dunia baru ketika menulis. Seolah mendapatkan kepuasan tersendiri. Dan, aku tidak pernah memberi tahu orang lain perihal kegemaranku satu ini (waktu itu lho, ya!) Jaman SD, aku sudah kena bullying teman sekelas, yang membuatku lebih senang menghabiskan waktu istirahat di perpus atau di kantor guru ketimbang ikut bermain teman-teman yang lain.

Dari perpustakaanlah, imajinasiku berkembang. Tiap kali mengkhatamkan satu buku, aku menulisnya ulang sesuai ingatanku dengan bahasaku sendiri. Dan masuk tsanawiyah (aku mondok di Bahrul Ulum) aku merasa hobi menulisku berkembang pesat. Malamku penuh dengan aktifitas menulis sekalipun begadang seorang diri (yang kek begini tidak untuk ditiru)

Beberapa buku pelajaranku raib, tersulap menjadi buku ceritaku. Dan aku tidak pernah berpikir ingin memamerkan tulusanku. Aku hanya merasa sangat bahagia dengan menulis. Hingga suatu hari, aku salah mengumpulkan buku. Tugas penjaskes (yang kebetulan gurunya juga merangkap sebagai BK di sekolah) masih utuh di lemariku.

Keesokan harinya, aku dipanggil oleh Pak Tito. Alih-alih mendapatkan teguran, Pak Tito justru menyarankanku untuk gabung di komunitas sastra pesantren. Aku berkedip tak percaya. Yang benar saja, akubtak tahu apapun tentang saatra. Namun, beliau mendukungku penuh. Belia pula yang merekomendasikan namaku untuk dimasukkan kontributor tetap majalah pesantren dengan usia termuda (saat itu baru kelas 1, masih anak bawang banget)

Mading di sekolah mulai aktif kembali sekalipun keseringan aku sendiri yang mengisinya. Dan warga sekolah tak ada yang protes atau bahkan mengeluh dan merasa jenuh. Tak jarang, kotak krisan justru lebih banyak dibanjiri dengan "kapan tulisan baru rilis?" "Ayo, ganti tampilan lagi!" Atau yang paling ekstrim, "madingnya ganti sehati sekali, deh!" Aku tidak pernah menyangka bahwa tulisabku diterima dengan baik.

Baiklah!
Lansung loncat ke masa selanjutnya. Aku pindah di sebuah pesantren yang peraturannya 180° jauh lebuh ketat. Tak ada bacaan selain koran atau kitab-kitab gundul. Jenis buku yang boleh dikonsumsi hanya yang tersedia di kantin pondok atau peroustakaan sekolah. Dan dari sinilah, aku mengawali tulisanku menjadi sebuah novel.

Semakin ke sini, duniaku semakin tak bisa lepas dari novel. Bahkan, aku sudah lupa cara membuat cerpen. Gaya bahasaku benar-benar rancu. Dan kalau sudah begini, aku khawatir bahwa kelihaianku dalam menciptakan fiksi hanya terbatas pada novel dan aku sama sekali tidak ingin seperti itu.

Aku ingin kembali menghidupkan kenanganku tentang berpuisi serta menulis cerita pendek. Menciptakan novel butuh energi lebih meski aku merasa itu adalah zona ternyamanku saat ini. Tak apa! Belum terlambat, bukan?



🖤
Tuban 07112018
#mutgyasadeea #tulisandee #ceritadee
#komunitasonedayonepost #kelasfiksi #ODOPBatch_6

3 komentar:

  1. Wah Mbaknya ernah mengalami fase menulis cerita di buku tulis. Keren sekali.

    BalasHapus
  2. Haha.. q ingat masa2 itu dee...
    Saat antri di nomor kesekian untuk dpt membaca novelmu yang klo gk salah ada di 5 buku tulis...

    Amazing....😍😍😍

    BalasHapus

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee