Kamis, 08 November 2018

Menjamu Rindu #tantanganODOP

Sumber gambar http://www.pixellab.com
~🖤~


Kamu belum pernah berubah. Tiap kali peluit stasiun mulai terdengar beriringan deru mesih yang membelah rel, kamu sudah duduk tenang di sudut gerbong. Menghadapkan tatapan ke arah jendela dengan penuh seluruh. Kamu bahkan tak peduli seberapa bising 5 orang lainnya di sekelilingmu yang begitu asyik menikmati perjalanan kereta mereka.

Kamu, masih sama dengan dua tahun lalu. Ketika duduk bersama dengan orang yang kau kasihi. Hanya membisu, seolah menikmati perjalanan dengan menadaburinya dalam hening. Mungkin bedanya, dulu kepalamu bersandar di bahunya. Sedangkan sekarang, jendela lumayan bening itu beruntung menjadi sandaran kepalamu.

Terhitung 6 kali sudah aku melihatmu melakukan perjalanan ini seorang diri, dengan bias wajah yang sama, bahasa yang tak tersampaikan serta senyum kaku basa-basi pada barisan pengurus kereta.

Aku tidak pernah tahu alasan yang membuatmu tiba-tiba meneteskan air mata tanpa kau sadari. Sekalipun penasaranku sudah setingkat dewa, aku justru lebih suka memberikanmu ruang untuk berdiam. Entah berapa pasang mata yang memandangmu penuh tanda tanya dan kamu masih selalu begitu. Abai.

Di pemberhentian stasiun pertama, dua orang di sekitarmu turun. Laki-laki itu berada tepat di sebelahmu dan tak ingin berpindah meski di hadapannya, dua kursi telah kosong. Jadilah perempuan berjilbab ungu itu yang mengalah.

"Ngerti kalau ada cewek cantik, makanya nggak mau pindah," selorohnya yang disambut sorai perempuan lainnya.

Sepertinya, kamu sama sekali tidak tertarik untuk sekadar menoleh. Tatapanmu masih lurus menembus jendela bening itu. Entah ada apa di sana? Atau mungkin itu hanya sebentuk tatapan kosong yang sedang disembunyikan dari orang lain? Ah, kamu.

"Mbak." Laki-laki itu menyapamu singkat. Aku tak tahu, kamu sedang pura-pura tuli atau memang tidak mendengarnya. Yang kulihat, kamu masih berdiam tanpa ekspresi.

"Mbaknya turun mana?" Perempuan berjilbab ungu itu mencuri start. Di sebelahnya, perempuan lain dengan rambut panjang berkuncir kuda. Keduanya memandangimu, menunggumu menoleh dan merespon pertanyaan mereka. Namun, itu masih nihil.

"Mbak..." Laki-laki itu memberanikan diri menepuk pelan pundakmu. Dan berhasil. Kamu menoleh perlahan, mengangkat alis berisyarat mempertanyakan sapaannya. "Turun mana? Sepertinya asyik sekali menikmati perjalanan. Mbak boleh gabung ngobrol dengan kami," sapanya ramah sekali. Memang, dari penampilannya, laki-laki itu bisa dipastikan selalu menghormati perempuan.

"Kebetulan kami turun di stasiun pemberhentian terakhir. Ini juga perjalanan perdana kami naik kereta sejauh ini, sore-sore begini pula. Akan sangat menyenangkan kalau kami bisa menambah teman dengan rentang waktu 6 jam ke depan," sahut perempuan berjilbab ungu tersebut.

Alih-alih menjawabnya, kamu hanya tersenyum lalu mengeluarkan sebuah buku kecil. Menulis dengan cepat menggunakan pen yang tersemat di saku blusmu.

Aku tidak bisa mendengar. Terima kasih sudah menawarkan kebaikan. Salam kenal, Rani. 

Mereka bertiga membaca tulisan dari kertasmu yang memang sengaja kamu perlihatkan di hadapan mereka. Mereka bersitatap dan memandang bergantian ke arahmu. Aku sendiri terperanjat. Bagaimana bisa aku sama sekali tidak mengetahui tentang ini? Kamu seorang tuna rungu? Aku kira selama ini kamu hanya berpura-pura tulis dan abai pada orang lain.

Tapi, sebentar. Masih ada yang ganjil. Setiap kali naik kereta, duduk di tempatmu yang selalu nyaris sama -sisi jendela- menembus pandangan ke luarnya sembari meneteskan air mata kemudian. Pasti ada alasan lain. Sepertinya, ketulianmu sama sekali tidak menghalangi pemahamanmu atas bahasa yang mereka gunakan. Kamu meresponnya dengan tepat.

"Oh. Maaf, Mbak. Kami sama sekali tidak tahu." Perempuan berkuncir kuda memecah hening sekejap yang mereka cipta sebab keterkejutan. Selain bicara dengan lisannya, ia juga menggunakan isyarat dengan kedua tangan. Kamu tersenyum maklum kemudian kembali menuliskan sesuatu di block notemu.

Tak perlu gunakan isyarat. Aku bisa memahami bahasamu melalui gerakan bibir. Selamat menikmati perjalanan perdana kalian. Semoga selamat sampai tujuan dan senantiasa sehat.

Mereka tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ah, setelah dua tahun, akhirnya aku benar-benar tahu bahwa kamu tuna rungu, bukan sekadar pura-pura tuli. Semoga Tuhan maafkan aku.

Duh, tak seharusnya aku dengan mudah menuduh orang lain dengan sifat tertentu yang itu artinya aku menaruh prasangka buruk. Sungguh, jika aku tahu bahwa kamu begitu sedih lantaran itu, aku patut kau benci. Aku merutuk diriku sendiri tiada henti. Jika saja aku tahu lebih awal bahwa kamu tuna rungu, aku tak akan ditenggelamkan pada syak wasangka sebelumnya.

"Lalu, Mbak Rani mau turun mana, ini?" Laki-laki di sebelahmu bertanya. Bukan jawaban yang kamu berikan. Kamu justru berdiri dan bersiap mengambil ranselmu. Sepertinya aku menangkap gelagat ketiga orang itu tengah menanganggapmu sebagai orang yang kurang responsif.

Sebelum berlalu dari gerbong, kamu meninggalkan sebuah kertas sembari tersenyum dan mengangguk untuk berpamitan. Stasiun tujuannya sudah tiba.

Aku mengunjungi makam suamiku di sekitar Rambipuji. Dua tahun lalu aku mengantarnya mudik sekaligus ke peristirahatan terakhirnya. Senang mengenal kalian. 

Jadi....
Baiklah! Aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih peka pada perjalanan setiap orang di sini. Aku ingin menjadi saksi bisu mereka ketika menempuh jarak berpuluh kilometer hanya untuk menjamu rindu.


🖤
Tuban 08112018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOPBatch_6 #kelasfiksi
#tantanganperdana #semangatnulis

4 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee