Minggu, 18 November 2018

Dia

Tulisan ini untuk tugas kelas fiksi subgenre "Songlit"
#karyadee #songlit


Nafisa masih mengerjap tak percaya di tempatnya. Baiklah! Mungkin, jika dijelaskan tampangnya saat ini, itu akan sangat mengenaskan. Dia ternganga di barisan depan dalam sebuah seminar dengan tema "Cara Cepat Menghafal Quran". Wajahnya cengo seketika begitu mendapati narasumber yang baru duduk di kursi panggung yang telah disediakan.

"Naf! Kira-kira kalau mau bengong. Depan sendiri, langsung kelihatan ikhwan pula. Jangan nurunin pamorku, deh!" Itu suara Vadya, teman terdekat Nafisa yang 'terpaksa' ikut alim, karena sudah sangat jatuh hati dengan pribadi Nafisa yang memahaminya luar dalam.

"Dia Ain, Va."

"Iyalah. Aku juga tahu dia Ain. Kan namanya terpampang jelas di banner belakangnya. Narasumber Ain Zulfikar," seloroh Vadya. Ia terkikik, menahan tawa. Suara MC tengah membacakan curiculum vitae narasumber, jadi ia tak mau menjadi bahan perhatian dengan tergelak di antara keheningan. Sedangkan Nafisa terdiam dengan tatapan yang mengisyaratkan belum percaya akan kenyataan di depannya.

Vadya mengerutkan keningnya, memperhatikan ekspresi Nafisa yang benar-benar baru dilihatnya setelah hampir sepuluh tahun bersahabat. Ia berkali-kali memindahkan fokus tatapannya pada Nafisa dan Ain -si narasumber yang uduk di kursi panggung- bergantian. Vadya menyipitkan matanya, berusaha mengingat sesuatu yang ada kaitannya dengan ekspresi Nafisa saat itu.

Lama Vadya tertunduk, namun bukan tengah meresapi bacaan quran sang narasumber yang mulai dibuka dengan surat Al-Fatihah. Sedang di sampingnya, Nafisa yang juga tertunduk mulai terlihat sendu. Ada yang mengambang di pelupuk matanya.

Tiba-tiba, Vadya ingat sesuatu. Ia terkejut, mengerjapkan matanya tak percaya, lalu bergantian mengarahkan pandangannya ke Nafisa dan Ain.

Lima tahun lalu

"Aku pengen move on, Va. Aku nggak mau keinget dia terus. Harusnya, kalau dia serius, nggak bakalan keberatan nerima tantangan dari abah untuk belajar quran. Toh, apa salahnya sudah kuliah dan mulai belajar iqro'? Apa yang bisa aku harapkan darinya, Va?" Mata Nafisa masih merah ketika bercerita dengan lirih pada Vadya.

"Sssst! Harapan itu memang bukan ditujukan pada manusia, tapai pada Allah. Sebut namanya dalam doa. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi tahun depan, dua tahun kemudian dan seterusnya. Jadi, jangan buru-buru tenggelam dalam kesedihan. Come on, Cantik. Kita sudah sudah 20 tahun, sudah harus lebih dewasa untuk memaknai kehidupan." Nasihat Vadya disambut Nafisa dengan senyum yang berurai air mata sembari memeluk erat sang sahabat.

======

Vadya tersenyum sendiri sembari mengingat-ingat nasihat yang pernah diberikannya pada Nafisa. Dulu, ia memang tampak lebih dewasa ketimbang Nafisa. Namun, semakin ke sini, justru Nafisa yang mendewasainya, bahkan jauh llebih baik dari kedewasaannya dulu.

"Aku bilang apa, Naf. Milik-Nya lah yang paling sempurna." Bisikan Vadya membuat Nafisa spontan mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya. Keduanya saling melempar senyum.



Tuban 18112018
#muthyasadeea #tulisandee
#kelasfiksiODOP #subgenresonglit #songlitstory
Based on Hijaiyah Cinta bisa didengar di sini 😊

1 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee