Namanya Maliyah. Parasnya cantik dan dia cukup pandai ketika aku mengenalnya. Kami teman seangkatan dan hanya sempat bertemu setahun waktu itu. Aku tak pernah mengenalnya lebih dari sekadar nama. Hingga akhirnya, pasca 7 tahun tak saling bertemu, kami kembali dipertemukan dalam sebuah wadah grup whatsapp alumni. Kebetulan, aku termasuk admin, mengurus beberapa program online yang terkadang masih berkesinambungan dengan almamater di Gresik.
Dia kelahiran kota Tuban, sama sepertiku. Aku memandangnya, memiliki nasib yang jauh lebih baik dariku. Menikah tak lama lulus dari aliyah kemudian dikaruniai seorang putri yang cantik. Apalagi suaminya juga lumayan tampan. Ia hidup mandiri bersama keluarga kecilnya di Lamongan, kota tetangga, ah, julukannya Kota Soto.
Semenjak aktif menjadi admin di whatsapp grup, aku merasa kembali menjadi "Dee" yang dulu di pesantren. Sering bertegur sapa dengan teman-teman walapun sekadar say hello. Sesekali juga njlantur, ngobrol kemana-mana. Salah satunya, dengan Maliyah ini.
Malam itu, seperti biasa, bangun setengah tiga, curhat, berbisik sama langit, tartil lalu pegang hape (ah, zaman milenial. Bentar-bentar, nyari hape). Scroll story whatsapp (catat, cuma scroll. Hahahah) aku nggak begitu hobi dengan periksa story contact, except keluarga dan beberapa teman dekat. Dan lagi, kecuali tampilannya baru satu (yang bentuk lingkarannya masih utuh, hihihi)
Jadi, kebukalah story Maliyah dengan caption "Ya Allaah, berilah kesembuhan untuk suamiku." Memang, beberapa hari sebelumnya, ia pernah chat di grup yang intinya minta doa untuk proses pengobatan sang suami. Suaminya harus melalui proses cuci darah karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Baru diketahui.
Syukur, Maliyah adalah sosok terbuka. Banyak teman-teman bertanya, mengapa sampai terkena penyakit separah itu padahal usia masih cukup muda. Dari sana, Maliyah sedikit bercerita (yah, namanya via teks d whatsapp grup pula). Sebelumnya suaminya sudah pernah rawat inap, dengan penyakit yang sama. Namun, pihak keluarga keukeuh untuk obat jalan sehingga dibawalah pulang sang suami.
Hingga khirnya, racun sudah menyebar ke ginjal dan jalan satu-satunya adalah cuci darah. Ini diketahui dari dokter pribadinya yang mengatakan bahwa suaminya memiliki radang dan darah tinggi. Ini diperparah dengan konsusmi obat toko tanpa ada panduan dokter sehingga racun dengan mudah menyebar.
Usai membuka tulisan singkat Maliyah, aku sengaja tidak mengirim balasan, namun lisanku spontan mengirim fatihah untuk suaminya.
Pagi harinya, aku ada jam full mengajar di sekolah dan seperti biasa, ponselku tersimpan rapi di saku. Istirahat tiba, waktunya presensi pesan yang pastinya numpuk. Dan tidak biasanya, whatsapp grup angkatanku ramai, tembus hingga 50an pesan, dengan notabene yang baru kubuka pagi harinya, sebelum jam pelajaran dimulai, sekitar pukul 07.00.
ان لله و انا اليه راجعون
Suami Maliyah berpulang.
Ya Allaah...
Sebegitu misterinyakah sebuah kematian?
Maliyah masih sangat muda dan anaknya juga masih membutuhkan figur ayah. Rasioku tetap saja ditentang iman. Perihal kematian, bahkan tak bisa diundur atau dimajukan sekaar hitungan detik. Apalagi toleransi usia yang masih muda, amanah anak, pekerjaan kantor, hutang piutang. Semua usai dan menjadi agenda akhirat. Aku bahkan tak sampai berkata-kata atau hanya menyampaikan rasa belasungkawa melalui pesan copy paste seperti teman-teman lainnya. Aku sibuk merasionalkan pikiranku sendiri, membenarkan bahwa kematian memang selalu datang sesuai kemauannya.
Tulisan ini tersusun untuk menasihati pribadi diri sendiri. Semoga, bisa menjadi pengingat bersama.
🖤
Tuban, 05092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee