Senin, 10 September 2018

Ketika Malaikat Izrail Datang Sekadar Menyapa

كفى بالموت واعظا
Cukuplah kematian menjadi nasihat.

Entah bagaimana aku menyebutnya. Memiliki sebuah penyakit yang bersarang dalam tubuh, memang menjadikan alarm pribadi untuk senantiasa menebar kebaikan. Apalagi penyakit yang tak ringan. Allaah, sungguh Kau begitu dekat.

Sejak Kamis sore, aku sudahmerasakan ada yang tidak wajar dengan keadaanku. Iya, sakit kepala. Tampaknya ringan sehingga kuabaikan dan terus menjalani aktifitas seperti biasa. Menjelang malam, aku tak tahan dan segera tidur meski jamaah isya batu turun. Biasanya, bangun tidur nanti akan kembali normal dan sakitnya hilang tak tersisa. Namun, entah ada apa dengan hati itu.

Jumat dini hari, sekitar pukul 02.20. Aku terjaga. Kepalaku seperti ditusuk ribuan tombak bergantian dari ujung kanan dan kiri. Sakit, tak terkata. Aku tak ingin menangis, dan mencoba menahannya dengan bergeliat, berguling ke kanan dan ke kiri. Namun, itu sama sekali tidak memberikan pengaruh sedikit pun. Tangisku pecah dan membuat ibu terbangun. Aku benar-benar tak sanggup mehanannya.

Aku mengerang kesakitan sembari memegangi kepalaku. Ingin rasanya aku melepasnya (kepalaku) sesaat untuk aku reparasi sejenak. Lafazh-lafazh ilahiyah terus keluar dari bibirku. Tahlil serta istighfar. Kepalaku seperti jadi bulan-bulanan kaki. Iya! Mirip sepak bola yang menjadikan kepalaku tersentak-sentak ke kanan dan kiri bergantian. Sungguh! Sakit malam itu bahkan lebih dari yang kuceritakan hari ini.

Ibu memegang kepalaku, membacakan sholawat thibbil qulub dan sesekali menekan pada bagian kening dan pelipis. Namun, sunggun. Itu sama sekali tidak bekerja. Aku masih terus mengerang dengan irama naik turun. Satu jam setelahnya, entah karena lelah menangis atau memang sakit kepalaku yang mulai membaik, aku kembali tertidur.

Pukul 06.00 aku kembali terbangun dengan sakit kepala yang belum mereda sedikit pun. Segera kuambil handuk untuk mandi sekaligus keramas. Mungkin, dengan begitu akan mengurangi rasa sakitnya. Dan, nihil! Aku masih sangat kesakitan seperti diinjak-injak kaki kuda yang berlarian dengan langkah cepat. Sungguh, ingin rasanya aku melepas kepalaku. Rasa sakitnya bahkan sampai membuat mataku tak bisa terbuka.

Dan lagi, aku ketiduran. Mungkin dengan alasan yang sama. Sungguh, di setiap sela-sela tangis serta dzikirku, yang kupikirkan hanya satu, bahwa Izrail tengah berdiri di ambang pintu kamar. Ia seolah tengah bermain dengan nyawaku. Mungkin, karena pikiran seperti itulah yang membuat tangisku semakin keras.

Ingatanku langsung tertuju pada suami Maliyah yang baru berpulang kemarin lusanya. Apa dengan jalan begini aku menutup usia? Sungguh, pagi itu, aku sudah pasrah jika Allaah benar-benar menghendakiku untuk kembali pada-Nya. Eranganku yang semakin keras, seakan-akan aku hendak sakratulmaut. Tangisanku membahana dan aku sudah tak peduli pada apapun kecuali lisanku yang terus memanggil asma Allaah.

Drama itu berhenti manakala ibu datang sekitar pukul 10.00 atau lebih. Aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Yang pasti, aku baru sarapan dan meminum obat. Kalau tidak salah, aku langsung tertidur usai meneguk pil tersebut.

Dan bayanganku tentang Izrail yang tengah tersenyum padaku, mengantarku hingga benar-benar lelap.


🖤
Tuban, 07092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee