Senin, 09 Juli 2018

The Day You Went Away

Dunia ini memang penuh cinta. Karena ia diciptakan oleh Sang Maha Hidup juga penuh dengan cinta. Cinta-Nya untuk makhluq-Nya, sangat jauh berbeda dengan cinta makhluq untuk-Nya. Bahkan, tak jarang, makhluq lebih mengagungkan cinta mereka pada sesama makhluq daripada untuk-Nya. Dia pula yang menjadikan alam dan seisinya berpasang-pasangan. Langit-bumi, siang-malam, juga Adam-Hawa.

Jika cinta itu menyapa, hal pertama yang akan terjadi adalah, 'perubahan'. Tinggal bagaimana seseorang menyikapinya. Menjadi lebih baikkah? Atau justru sebaliknya? Yang pasti, cinta bukanlah kata murah yang bisa diumbar-umbarkan.

1. Seseorang yang tulus mencintai, dia tidak akan berani menyentuh orang yang dicintainya. Dalam keadaan apapun. Karena baginya, itu seperti menodai.
2. Seseorang yang tulus mencintai, dia akan lebih banyak menunduk. Buatnya, orang yang dicintainya adalah anugerah Allah yang harus dia hormati.
3. Seseorang yang tulus mencintai, tak mungkin berharap banyak atas balasan perasaannya. Yang pasti, orang yang dicintainya bisa bahagia.
4. Seseorang yang tulus mencintai, ia berani mengucapkan, "Maukah kamu jadi istriku?". Dan bukan sekedar, "Maukah kamu jadi pacarku?".
5. Seseorang yang tulus mencintai, tak peduli jarak dan waktu yang memisahkan. Karena dia percaya, masih ada Allah di antara keduanya.
6. Seseorang yang tulus mencintai, pasti menginginkan orang yang dicintainya tersenyum. Meski senyum itu bukan untuknya.
7. Pacaran tak bisa menjamin sepasang insan bisa menikah.
8. Cinta dibangun di atas pernikahan. Bukan pernikahan dibangun di atas cinta.
9. Segera menikah, tidak berarti harus menggabungkannya dari kubu yang berlainan. Tapi, saling mengenal antara dua insan dan dua keluarga.
10.  Serius bukan berarti tanpa pertimbangan. Tapi itu muncul setelah ada keyaqinan.
11.  Sebuah keyaqinan, itu tertanam dalam kalbu Adam. Sebab, yang kehilangan tulang rusuk adalah Adam. Bukan Hawa.
12.  Jika kamu mulai mencintai, tanyalah hatimu, seberapa takut kau kehilangan?
13.  Jika kamu mulai mencintai, perhatikanlah, bagaimana ia melihat mata kamu. Karena, letak kejujuran ada di dua tempat. Mata dan hati.
14.  Terpisahkan oleh jarak dan waktu bukan alasan untuk bisa terus saling berkomunikasi.
15.  Jika kamu dibuatnya jauh dari Tuhanmu, campakkan dia! Jika sebaliknya, menunduklah!
16.  Jika memang tak bisa bersatu, tak akan menjadikan kamu ataupun dia lemah. Tapi, justru mampu menyadari bahwa semua pasti ada hikmahnya.
17.  Berjilbab bukan alasan seseorang yang menganggap dirinya suci. Karena seseorang menghargai dirinya sendiri bukan dari sekadar jilbab yang menutupi rambutnya.
18.  Hiduplah untuk hari ini dan semangatlah untuk esok. Adukanlah semua hanya pada Sang Maha Hidup. Karena Dialah muara segala tangis.
Detik ini...
3 menit kemudian...
1 jam mendatang...
Esok...
Hingga tak ada lagi kehidupan mengaliri darahmu.
Aku dan kamu...
Adalah satu dari sekian episode kehidupan yang telah berakhir. Beruntungnya kamu, masih punya kontrak untuk bisa jadi artis dunia yang lebih baik dari ini.
Dari hanya sekedar bersamaku...
 
Aku tersenyum simpul usai membacanya. Menahan bulir di ujung mata yang siap terjun. Perlahan, kututup laptop di hadapanku. Satu-satunya benda yang hanya dengan melihatnya saja, cukup untuk menguras seluruh adrenalinku.

"Kamu menangis?" sapa pemilik suara mezosporan yang duduk tak jauh dariku. Aku menggeleng pelan tanpa menolehnya. Tapi, aku benar-benar tak bisa menahan air mata. Isakku pun tertahan dalam diam.

"Menangislah...", tukasnya sambil beranjak. Mengulurkan sebuah sapu tangan tepat di hadapanku. Aku menerimanya sambil tertunduk. Kudengar langkahnya menjauh.

"Tapi, kehidupan harus tetap berjalan seperti biasanya. Seperti roda, yang kadang ada di atas, dan kadang ada juga di bawah. Masih banyak yang menyayangimu, Ita...", suaranya terdengar sayup-sayup tertelan ombak dan desah angin pantai.

Tinggal aku sendiri. Duduk di sebuah pos mungil di tepi pantai. Sepeninggal Bara, pemilik suara mezosporan tadi, aku menantang cahaya senja. Mengabadikan jingga dalam pandanganku. Airmataku tak mau berhenti. Kubiarkan isakku tertelan debur ombak yang pecah di antara bebatuan. Seolah siluet jingga senja memaksakan kenangan buruk itu hadir.

Setahun lalu...

PTAR!!!

Suara petir menggila ditemani hujan angin yang benar-benar lebat.

"Aku mohon, Ram... Datanglah ke hadapan ayah dan ibu. Setidaknya kamu bilang, kamu bersedia menikahiku kapanpun itu. Pemuda gila itu benar-benar membuat ayah dan ibu tak bisa menolaknya. Aku mohon, Ram... Aku tak mau menikah dengannya," aku berucap sekeras mungkin. Berduel dengaan prajurit hujan yang mengganas. Penuh pengharapan bersama isak.

"Aku nggak punya nyali, Ta..." ujarnya yang tampak begitu pasrah.

"Lalu, apa gunanya kita backstreet sampek setahun ini, Ram?" teriakku penuh kekecewaan. Aku marah. Berlutut menyadari kebodohanku. Kurasakan tangan Rama meraih pundakku. Tak lama, ia berlutut memelukku. Tanpa menghiraukan hujan.

"Aku janji akan datang pada orangtuamu. Tapi, tak secepat ini," bisiknya di telingaku.

"Kapan...?"

"Suatu saat nanti..." perlahan, ia melepas pelukannya. Meraih kepalaku. Jarak antara wajahku dengan wajahnya hanya tinggal beberapa milimeter saja. Saat tersadar, aku menghindar.

"Aku gak mau, Ram!" tegasku menggeleng perlahan.

"Anything wrong?" kilahnya ringan. Aku beranjak. Menjauh perlahan. Untuk kemudian berlalu dari hadapannya, tanpa kutau kemana ku berlari.

***
 
Suara ini tak asing di pendengaranku. Memperdengarkan suara merdu yang menemaniku. Mengantarku membuka mata perlahan. Kusadari, aku tak lagi mengenakan kaos lengan pendek yang yang semalam aku pakai. Berganti sebuah sweater tebal dan, ups...

"Ita, uda sadar?" sapa suara lembut itu. Aku menolah ke arah pintu. Membuat seseorang yang duduk di sisi ranjang menghentikan tilawahnya dan beranjak keluar kamar.

"Semalam, Zilan nemuin kamu pingsan di depan jalan rumah kakak. Zilan segera manggil kakak buat angkat kamu. Dia kelihatan buru-buru banget. Habis manggil kakak, dia langsung cabut. Tapi, shubuh tadi, uda kesini lagi," papar perempuan cantik itu sembari duduk di sisiku.

"Oia, gimana keadaan kamu?" tanyanya sesaat kemudian.

"Baikan, Kak..." jawabku singkat. Kulihat Kak Naya tersenyum ke arahku.

"Kak Naya musti berangkat ke kantor. Ntar sore Kakak baru bisa nganter kamu pulang. Soalnya, Zilan nggak mungkin mau nganter kamu sendiri?" ujar Kak Naya sambil berdiri. Tak lama, ia mencium keningku kemudian pamit. Meninggalkanku seorang diri di kamar besar ini.

Sepeninggal Kak Naya, aku beranjak. Mencoba berdiri dan berjalan mengitari kamar. Kemudian aku duduk di kursi sambil menatap jendela. Meraih sebuah album yang tergeletak tak jauh dari meja di hadapnaku. Album keluarga Kak Naya yang berarti juga keluarga Zilan.

Melihat banyak gambar Zilan, membuatku menangis mengenang peristiwa semalam. Menangisi kebodohanku. Menangisi nasibku. Menangisi semua yang sudah kulewati. Dan entahlah! Aku tak tau siapa yang harus kusalahkan.

"Semua gara-gara kamu! Kamu tuh cuma orang asing yang tiba-tiba dateng. Nghancurin masa depan dan mimpiku. Membuat ayah dan ibu tak bisa menolakmu. Kamu bener-bener cowok gila!" makiku sendiri dengan suara parau.

"Kamulah pembawa virus gila dalam pikiranku," suara itu. Aku meoleh perlahan.

"Harus kamu tau, Ita... Keyaqinanku setelah 6 tahun, tak akan bisa dengan mudah dirobohkan oleh siapapun. Termasuk kamu. Dan aku percaya, penantianku dari benci hingga sayangmu akan bermuara dalam ikatan suci," ujarnya yang terdengar begitu tegas dan mantap.

"Kamu nggak lebih dari sekadar cowok pesakitan!" makiku sambil menudingnya tajam. Ia tertunduk. Tangisku benar-benar tak lagi tertahan.

"Kenapa Zilan? Kenapa nunduk? Nggak berani? Cuma sampek depan ayah ibu saja nyali kamu?" cercaku dengan nada suara yang tak terkendali bercampur isak.

"Kamu harus banyak istirahat. Assalamu'alaikum..." ia berlalu tergesa. Menyisakan aku yang berlutut bersama tangis sesakku. Semua perasaanku bercampur jadi satu. Marah, kecewa, putus asa. Mengapa melihatnya berlalu membuatku semakin terisak.

*   *   *

"Bagaimana mungkin aku akan menikah dengannya Bu, bahkan aku sangat membencinya," ungkapku di sela tangis yang tak bisa kubendung. Kurasakan belaian ibu lembut pada rambut panjangku. Tak sedikitpun ibu berkomentar atas semua keluhku.

"Kalau memang dia mencintaiku, mengapa dia justru begitu dingin di hadapanku?" lanjutku kembali. Ibu masih tak bersuara. Angin malam berhembus mesra di antara dingin gelap yang menyeruak. Aku berharap ibu berkata untuk sekedar menenangkan hatiku.

"Ita..." panggilan ibu terdengar begitu dalam. "Ayah dan ibumu ini tak bisa menemukan hal lain selain kebaikan dalam diri Nak Zilan. Dari situlah kami yaqin bahwa Nak Zilan adalah pemuda yang baik," ujar ibu bijak. "Di awal kedatangannya ke sini, sudah sangat terlihat keseriusannya meski kami masih ragu. Tapi, perjuangannya 4 tahun di negri timur tengah membuat ayahmu benar-benar tak bisa menolaknya. Padahal, bisa saja dia menyelesaikan studynya di kedokteran. Tapi, ternyata dia lebih memilih mendengarkan nasihat ayahmu," lanjut ibu.

"Kamu tak pernah menyangka, Zilan bukan hanya menepati janjinya. Tapi semua keseriusannya dia buktikan di depan ayahmu. Jarang ada pemuda seperti dia, Ta! Perkara dia yang begitu dingin di hadapanmu, karena dia sadar, gadis kecil yang sejak 6 tahun dinantinya telah tumbuh dewasa. Percayalah, Ita! Ayah dan ibu telah memikirkan ini baik-baik. Karena kami tahu yang terbaik untuk putri kami," papar ibu panjang lebar.

"6 tahun, Bu?", tanyaku ragu.

"Iya, Ita. Waktu yang begitu panjang tanpa kamu mengetahui semua dari awal kedatangannya. Karena seperti yang kamu kenal, Zilan adalah orang lain dengan kehidupan serba glamournya", jawab ibu jelas.

Dan entahlah! Aku merasakan mataku mulai basah. Sebutir air mata mengalir begitu saja. Membuatku tak ingin nyah dari pangkuan ibu. Bayanganku mulai parau. Goyahkah perasaanku oleh kenyataan di balik cerita ibu? Mulai sadarkah aku tentang arti sebuah pengorbanan dalam cinta?

Karena dia sadar, gadis kecil yang sejak 6 tahun dinantinya teelah tumbuh dewasa. Dan kata-kata itu tak henti menggaung di ruang dengarku.
Mengapa aku baru tahu tentang semua ini? Andai aku tahu kejujuran ini sejak awal, tak akan pernah kubiarkan Rama mengusik hatiku. Tapi, cinta yang tulus memang akan terus menjaga. Seperti Zilan yang menjagaku dari tangan kotor Rama.

Dan tetes air mataku telah berubah menjadi tangis yang tertahan.

***

Bisakah kau bayangakan, ketulusan cinta seseorang yang sangat kau benci?
Mampukah kau gambarkan, cinta macam apa yang membuatmu akan benar-benar bertekuk lutut di hadapannya?
Lalu, adakah perumpamaan untuk sebuah cinta yang mendalam setelah memupuk kebencian selama 6 tahun?
Katakanlah pada dunia...
Di sini, "AKU TELAH MERASAKANNYA!"
Tak ada yang tahu tentang rasa cintaku setelah sebuah kebencian tertanam dalam di hatiku. Sebuah keterlambatan cinta yang pada akhirnya mengurai seluruh air mata. Sebuah keyaqinan yang kokoh setelah mendapati kejujuran yang terpendam. Dan sebuah langkah yang begitu mantap untuk tidak menyia-nyiakan cinta yang telah 6 tahun menannti.

23 Juni 2011...

Vitting gaun pengantin. Survey lokasi acara. Pemesanan cattering. Serta penentuan tanggal. Dimana esok, Jumat, 01 Juli 2011, aku "Ita Dyara" dengan pemuda sholih, "Zilan Najih", akan mengikrarkan janji suci untuk mengarungi bahtera hidup dalam naungan pernikahan.

Sesuai janji, dia, Zilan, ingin menghatamkan Qur'an dalam pendengaranku. Aku tak menolaknya. Hari ini sudah hari kedelapan, aku menyimaknya. Tepat di juz 23. Dengan disaksikan seorang imam masjid yang duduk di hadapannya. Dan aku, jauh di belakangnya.

20.40...

Dia sudah satu jam bertilawah yang kemudian berhenti tiba-tiba. Perlahan, aku mengarahkan pandanganku ke punggungnya.

"Aku haus..." ujarnya lirih yang masih bisa kudengar dengan jelas. Aku bernafas lega lalu beranjak mengambilkannya segelas air.

Aku membawa segalas air putih. Berjalan mendekat ke arahnya.

"Zil..." panggilku halus setelah duduk tepat di belakangnya. Ia tampak begitu khusyu' dengan duduknya yang sangat terbungkuk. Aku menunggu sesaat. Tapi, tak ada respon.

"Zilan..." ulangku sambil memberanikan diri menyentuh bahunya.

Dan yang kuingat, saat itu, aku hanya berteriak histeris.

...

Lalu, bisakah kau bayangkan, kebahagiaan yang di depan mata hilang dalam sekejap?
Sebuah kejujuran yang tersimpan justru membuat kamu hancur?
Keterlambatan untuk bersikap yang pada akhirnya menyisakan kekecewaan serta duka yang mendalam dan bermuara pada keputus asaan!
Perempuan manapun tak akan pernah sanggup membayangkan posisi ini. Kalaupun sanggup, apa yang akan dilakukannya saat ternyata tak akan ada lagi kesempatan untuk bisa membalas ketulusan cintanya yang telah terbubuhi kebencian selama bertahun-tahun?
KATAKAN!
Dan inilah aku...
Yang mencoba memegang erat ke-delapan belas pesan yang dia wasiatkan dalam laptopnya. Sebuah barang yang berisikan semua tentangnya. Dan sengaja ia tinggalkan untukku.
 
~~~

"Ita...", panggilan lembut itu menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku menoleh perlahan. Kudapati ibu berdiri tak jauh dari hadapanku.

"Ada tamu..." ujar ibu saat aku memandanginya lama. "Buat kamu...", lanjut ibu lagi ketika melihat keningku berkerut. Aku mengangguk. Lalu beranjak. Membiarkan ibu berjalan jauh meninggalakanku.
Dan di ruang tamu, kudapati Bara bersama kedua orang tuanya bertandang ke rumah. Jelas itu hal biasa buatku. Karena mereka adalah tetangga depan rumah. Aku duduk di antara ayah dan ibu setelah menyalami Om Ryan dan Tante Indah, orang tua Bara.

"Besok pagi, aku ikut penerbangan pertama ke Turki, Ta...",ucap Bara yang terdengar begitu tenang. Aku menatapnya penuh keterkejutan. Entahlah! Bagaimana aku harus menggambarkan perasaanku. Buatku, Bara sudah seperti kakakku sendiri. Karena hanya dia yang mengerti tentang dukaku.

"Dan sebelum pergi...", kata-katanya membuat tatapanku tak bisa lepas darinya. "Aku ingin kamu tau, aku menyayangimu layaknya laki-laki mencintai seorang perempuan. Dan bukan sebatas adik kakak," tukasnya mantap. Aku tertunduk.

"Tapi, jangan khawatir, Ta. Perkara kamu tak bisa atau mungkin tak mau membalasnya, itu bukan urusanmu. Karena hati adalah kuasa Allah. Jika kamu juga mencintaiku tapi Dia tak menggerakkan hatimu padaku, itu sia-sia. Begitu juga sebaliknya. Semua itu adalah kuasaNya", lanjutnya kemudian. Aku masih terdiam.

"Namun, aku yaqin. Allah sedang menggerakkan hatimu perlahan. Untukku..."

Tes!
Sebuah air mata melesat begitu indah menyentuh jilbab biru yang kukenakan.

"Om, Tante...izinkan Bara meminang Ita dengan Bismillah. Insya Allah, 2 tahun sepulangnya Bara dari Turki setelah Megister, akan menghalalkannya,"
Kurasakan desiran darahku berpicu dengan degup jantungku. Suaranya terdengar benar-benar yaqin dan mantap. Aku tak pernah mengira sebelumnya. Bahkan untuk terbersit tentang ini sekalipun. Sama sekali.

"Bagaimana, Nduk?" kudengar ayah bertanya lembut di telingaku.

Ya Allah...izinkan aku mencintai...
Bismillahirrohmanirrohim...
Aku mengangguk perlahan.
Dan hanya air mata haru yang mewakili kebisuanku atas bahagia ini.
Zilan... Tersenyumkah kau menyaksikan bahagiaku?


~~~
Based on true story.
Mereka udah nikah.
Makkum, cerita lamma bingitz🤣
Regards, Dee💗

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee