Senin, 09 Juli 2018

Catatan Perjalanana Tuban-Semarang

Bagi seorang sepertiku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh seorang diri, tentu saja naik bus dengan jarak Tuban-Semarang menjadi pengalaman tak terlupakan. Berjibaku dengan deru mesin, bau asap, debu serta keriuhan yang sebelumnya sudah aku bayangkan betapa menakutkannya semua itu. Namun, justru dari situ aku menikmati sebuah perjalanan.

Jujur, aku suka sekali mengarahkan pandangan kosong ketika seorang diri, daripada menghabiskan diri dengan tidur selama perjalanan. Untunglah, aku bukan tipe orang yang suka mual atau mabok kendaraan yang bisa mengganggu perjalananku. Dan itu benar-benar aku syukuri sepenuh hati sebab dengan itu aku bisa penuh menikmati perjalanan jauhku.

Selain hanya berdiam menikmati pemandangan dari jendela bus, sesekali aku memainkan ponsel. Berkirim pesan atau sekadar menulis di niges yang kelak akan aku jadikan bahan tulisan, seperti saat ini. Aku menuliskan ini debgan bekal beberapa tulisan dalam notes yang aku buat selama perjalanan.

Sembari termenung, aku memikirkan banyak hal tiap kali melintas jalan dan menemukan pemandangan tak lazim. Anak gelandangan, misal. Bahkan, untuk minum saja mereka melambai-lambaikan tangan ke arah kondektur bus yang aku tumpangi. Pikiran tentang kematian juga. Hal itu terlintas begitu saja ketika terbayang jalanan yang padat merayap kemudian bus dengan laju tanpa kontrol yang tidak pernah diketahui penumpang lainnya, kemudian manuver busnya tidak terduga.

Sebenarnya, renungan-renungan panjang itu akan membuahkan hasil pemikiran yang luas jika mampu merangkainya menjadi cerita dan menuliskannya hingga menjadi bacaan. Bahkan, jika aku mau, mungkin butuh waktu berhari-hari untuk menuliskan semua itu.

Satu hal yang jadi renunganku dari sejak pertama menapaki bus yang aku tumpangi, adalah tentang perjalanan hidup ini. Aku terlalu nekat melakukan perjalanan yang sebelumnya belum pernah terbayangkan sebelumnya olehku, seorang diri dengan berbekal keinginan membahagiakan diri sendiri. Apalagi posisiku yang sudah berkeluarga.

Sesekali, aku menangis sendiri. Ya! Menangisi betapa aku sangat terlewat nekat hanya untuk menjumpai kebebasan. Entah aku yang kurang bersyukur atau memang kebebasan memang belum bisa aku rengkuh, terlebih ketika sudah berstatus sebagai istri.

Tangis-tangis itu tak bermuara. Aku seorang diri dan bersyukur mendapat tempat duduk di ujung depan, tepat di samping jendela yang bisa dengan lugas aku jadikan pengalihan perhatian saat air mataku merembes deras. Aku merasa sendiri.

Sebagai manusia, aku terkadang merasa butuh pemakluman untuk mencicipi bahagia yang tak bisa kudapat di sekelilingku. Berlebihan? Bisa jadi. Tapi, untuk masalah seseorang, bukankah orang lain tidak bisa menjudge sesuka hayi tanpa perlu bertabayun? Kita tidak pernah tahu duka seperti apa yang sudah ditanggung oleh orang lain sehingga kita memandangnya sebelah mata yang hanya bisa dilihat secara kasat mata.

Dari perenungan panjang itulah aku menyadari satu hal. Selama ini, mungkin, aku melakukan hal yang sama dengan menjudge kehidupan orang lain. Aku terlalu cepat mengambil keputusan akan hiduo seseorang yang hanya aku kihat dalam sekejapan mata. Maka, adilkah jika aku marah atas judge orang lain untuk kehidupanku?

Perjalanan ke Semarang hari itu, Rabu, 04 Juli 2018, memberiku banyak perenungan yang akhirnya membuat aku lebih banyak untuk menasehati diri sendiri ketimbang harus menjadi konselor bagi orang lain. Dan sampai detik ini, aku bahkan belum bisa menerima diriku sendiri. Yang merasa terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu lebih ketimbang orang lain.

Kemudian, hasil evaluasiku masih banyak minim yang harus aku perbsrui. Membenahi keseharianku, peibadiku, hidupku, cara pandangku.

Seberat apapun hidup ini, aku ingin berterima kasih pada perjalanan panjangku Tuban-Semarang. Jika aku temukan kembali hikmah yang isa membuka mata hatiku, akan kembali aku bagi dalam bentuk cerita.

Regards,
Dee💗

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee