Kamis, 12 Juli 2018

Bahwa Perihal Sakit, Allaah pula yang Sembuhkan #experience

Hasbiyallaah...
Allaah tengah jatuh cinta pada saya.
Tiga bulan terakhir, terhitung sejak awal Februari, saya mengeluhkan sakit pada bagian punggung dan perut. Tanpa berfikir panjang, saya berangkat ke dokter setempat, sekadar bertanya dan mendapatkan solusi atas kejanggalan tubuh saya.
.
Sakit yang seperti apa itu?
Karena saya seorang guru SD, sudah lumrahnya ketika memberikan penjelasan pada peserta didik dengan posisi berdiri atau jalan-jalan. Namun hari itu, barang lima menit saja saya tak tahan. Wal hasil, menjelaskan materi pembelajaran sembari duduk. Namun, hal aneh kembali lagi. Berbicara dengan suara yang lebih tinggi -untuk menjangkau seluruh kelas- sambil duduk, membuat napas saya tersengal-sengal. Dan pembelajaran hari itu berakhir dengan tugas yang terpaksa saya berikan, padahal tidak ada dalam perencanaan yang sudah saya susun.
.
Barulah esoknya saya berangkat ke dokter, karena sedang tidak ada jam mengajar dan tiada pekerjaan penting lainnya. Alhamdulillaah, saya sampai tempat praktik dokter dengan selamat. Ya! Saya berangkat sendiri berkendara sepeda motor dari sekolah dan masih lengkap berseragam dinas guru.
.
Setelah tanya jawab dan konsultasi yang cukup panjang -karena kebetulan setelah saya tiada pasien lagi- dokter tidak memberikan saya penjelasan pasti perihal sakit saya. Yang pasti, sebuah surat izin 3 hari langsung diberikan untuk saya.
"Bedrest dulu ya, mba."
Ha! Saya kondisi sehat, lho? Naik sepeda sendiri bahkan bisa dan baik-baik saja. Kenapa harus sampai bedrest?
"Setelah 3 hari, nanti kembali sama walinya sekalian saya jelaskan. Semoga istirahat total bisa membuat badan segera fit."
.
Meski setengah hati masih protes, saya masih menerima surat tersebut. Dan dengan rasa setengah malu juga, ketika saya kembali ke sekolah, saya menyerahkan surat izin tersebut kepada yang berwenang (kepala sekolah). Ah, saya sendiri tidak bisa menjawab ketika ditanya sakit apa hingga harus bedrest begini. Tak apa, toh saya tidak tengah berbohong. Surat izin tersebut buktinya.
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah...
Tiga hari seperti yang dijadwalkan Pak Dokter, saya kembali bersama ibu -semoga Allaah selalu melimpahkan kesehatan pada beliau- karena kebetulan suami sedang sibuk. Dokter menjelaskan bahwa saya terkena sakit lambung serta asam lambung meningkat. Izin diperpanjang kembali 3 hari, genaplah sepekan saya sudah tidak berangkat mengajar.
.
Perihal sakit, berkurang, tapi tidak efektif. Sakit yang tersisa masih banyak. Namun, karena sudah terbiasa dengan beliaunya, saya berhusnuzhann bahwa sembuh akan diberikan Allaah melalui beliau, seperti halnya ketika saya sakit pada sebelum-sebelumnya. Perpanjangan izin dari dokter terus berlanjut hingga 4 kali dan genap 2 pekan saya tidak berangkat sekolah.
.
Ikhtiyar menemukan obat lain saya lakukan, termasuk pengobatan alternatif. Dokter juga bukan hanya 1-2 orang (dari kota saya sendiri) yang saya datangi. Bahkan hampir seluruh dokter umum yang buka praktek. Mungkin, banyak orang curiga, mengapa saya tidak lekas membawa ke rumah sakit terdekat. Cukup jadi rahasia umum serta pengalaman  pribadi saya bahwa rumah sakit tempat kota saya tinggal, pelayanannya jauh dari yang saya harapkan. Itu yang membuat saya ragu hampir seribu persen.
Ah, baru kerasa, sehat mahal harganya.
.
Di pertengahan sakit yang saya pendam (karena tampak fisik yang sehat segar bugar) saya masih memenuhi tugas-tugas saya sebagai guru. Berangkat ke sekolah meski hanya setengah hari. Lebih dari itu, yayasan temoat saya mengajar juga tengah memiliki hajat besar yang melibatkan peserta sekabupaten. Dan sudah sejak jauh hari, saya diamanahi untuk jadi pembawa acara.
.
Qodarullaah,
Saya mampu melaksanakan amanah dengan baik meskipun setelahnya saya benar-benar kehabisan tenaga dan daya kekuatan. Bahkan sekadar berdiri menopang tubuh sudah tak sanggup dan untungnya itu terjadi tepat ketika acara telah usai. Saya bersyukur, setidaknya, saya masih bisa melaksanakan tugas serta amanah saya tanpa harus merepotkan orang lain. Ya, meskipun pada akhirnya keadaan saya memburuk, setidaknya, saya tidak berniat merepotkan orang lain.
.
Menjelang akhir Februari, saya menemukan jodoh pengobatan. Banyak berkurang sakitnya, alhamdulillaah. Tiga kali balik sana dan keadaan berangsur-angsur membaik. Namun, saya masih merasa janggal.
.
Jika ingatan saya masih baik, itu Senin tanggal 26 Februari malam. Perut saya sakit yang tidak bisa digambarkan. Suami sedang sift malam dan lagi-lagi harus merepotkan ibu. Karena sakit yang luar biasa hebatnya, saya menangis sejadi-jadinya. Bahkan ibu harus tidur mendampingi saya. Allaah, sebenarnya sakit seperti apa yang tengah saya alami ini? Pekan lalu bahkan hasil lab menyatakan kondisi saya normal secara keseluruhan. Malam itu saya keukeuh berdiam di rumah, karena ada banyak hal yang membuat saya enggan untuk ke rumah sakit dan perihal tersebut tidak bisa saya jelaskan di sini.
.
Iya, jadi dua pekan pasca pengobatan di dokter yang pertama kali saya periksa, beliau merekomendasikan untuk periksa lab untuk daerah perut serta bagian vital lainnya. Sekembalinya dari lab, beliau membaca hasil tes yang sudah saya lakukan sesuai anjuran beliau. Dan saya xukup bernapas lega mendapati semua hasil lab ternyata normal (sesuai kalimat dokter)
.
Menginjak awal Maret, keluarga kami harus disibukkan dengan persiapan pernikahan adik perempuan saya serta walimatul khitan adik bungsu saya. Karena keluarga tidak berencana menggelar acara besar, jadi kami mengurus sendiri segala keperluannya. Ya, saya sangat paham itu. Karena tidak bisa melakukan apapun, saya hanya bisa mengistirahatkan badan. Ah, tak apalah menahan sedikit lagi. Sebentar lagi semua acara selesai. Begitu batin saya mendamaikan.
.
Saya memang sudah mengutarakan keinginan saya pada ibu untuk periksa lebih mendalam dan jauh perihal keadaan saya di rumah sakit luar kota. Ibu menyanggupi dan meminta saya untuk menunggu hingga semua hajat dan kepentingan acara si rumah beres semua. Meskipun saya masih menyembunyikan rasa sakit yang hebat dalam tubuh saya, rasa bahagia saya ternyata bisa sedikit menutupi.
Allaahu akbar
Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Rumah benar-benar kembali normal di hari Ahad, 18 Maret. Keesokan harinya, nenek saya -dari pihak suami- berpulang ke rahmatullaah. Rasa-rasanya, saya sudah tidak punya energi untuk menemani emak yang sedang berduka di rumah. Mau tidak mau, saya harus tetap tinggal bersama orang tua saya. Saya dan suami akhirnya bagi tugas. Ah, lebih tepatnya ibu dan suami. Suami menemani mertua yang seorang diri di rumah. Dan ibu merawat saya di rumah.
.
Selasa pagi, saya diantar ibu dan adik saya -pengantin baru- ke RS di luar kota. Sudah rahasia umum, pengobatan di sana lebih canggih ketimbang di kota kelahiran saya. Meski harus dapat antrian 63, kami sudah bertekad menunggu karena niatnya memang cari obat. Alhamdulillaah, sebelum zhuhur nama saya sudah terpanggil.
.
Tangan saya ditensi sambil duduk. 2x di kanan dan kiri. Ah, barangkali mesinnya eror, hasil akhir sama sekali tidak muncul. Sembari tiduran untuk diperiksa, saya dikelilingi perawat dan dokter muda (dokter magang, mungkin). Sebelum seorang dokter sepuh memeriksa detak jantung, nadi, mata dan lidah saya, saya mendapati banyak pertanyaan dari para dokter muda serta perawat.
• Sering pendarahan, mba?
• Kalau BAB, lancar atau sulit?
• Biasa lemes dan pingsan?
• Kuat kena sinar matahari?
• Rambut sering rontok?
Dan masih banyak pertanyaan lain yang saya merasa janggal mendapati pertanyaa-pertanyaan aneh serupa. Ya! Diantara pertanyaan-pertanyaan itu memang saya benarkan sembari di dalam hati saya yang terus merasa penasaran dengan penyakit yang tengah saya derita.
.
Hingga tibalah, beliau (yang kemudian saya sebut sebagai Pak Bambang) mendekati saya. Sepanjang memeriksa, beliau tersenyum teduh tanpa satu kalimat pun.
Tiba-tiba, "ibu, putrinya bawa ke UGD ya!"
Kalimat itu ditujukan pada ibu yang berdiri tak jauh dari ranjang tempat saya berbaring untuk pemeriksaan.
.
Mungkin sejak itu air mata saya mengalir tiada henti. Diagnosa dokter sudah tertulis dan saya kelabakan mencari tahu istilah yang tertulis. Padahal beliau, Pak Bambang -dokter yang menangani saya- sejak awal dengan tenang hanya berkata "Allaah yasyfik, baik-baik saja kok"
.
Dan benar.
Beliau akhirnya bicara perihal sakit saya setelah hasil lab keluar. "Positif *****. Tapi tidak apa. Yang penting yaqin dan semangat sembuh. Satu lagi, rajin ikut terapi, minimal 2 tahun. Insyallaah, sebelum itu sudah sembuh total. Ohya, jangan sampai 3k. Kecapekan, kepanasan, kepikiran."
.
Sejujurnya, perlakuan seperti ini yang saya harapkan. Tidak peduli berapa persen kesembuhan saya, itu muthlaq kuasa Allaah, bukan manusia. Mungkin, akan beda cerita jika dokter pemegang saya berkata, "ini penyakit yang sulit pengobatannya" atau sejenisnya seperti kata mbah gugel. Tapi sungguh, sekarang sisa keyaqinan saya yang terus menggantung pada Allaah.
.
dan apabila aku sakit, Dia yang menyembuhkan aku (Al-Quran)
Dan sampai hari ini, alhamdulillaah, kesehatan saya berang-angsur membaik. Ya, tapi masih harus tetap check up dan terapi setiap bulannya.
Saya tidak tahu apa yang tengah saya bagi dengan menuliskan ini. Yang pasti, saya hanya berbagi pengalaman. Jika ada baiknya, sila diambil. Jika tampak kwburukan, itu semata-mata kelemahan saya pribadi.
Allaahu yarhamunaa
Regards, Dee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee