Sebut saja namanya Hamdan, lelaki 24 tahun yang sudah melewatkan setengah dari usianya di sebuah pesantren salaf Jawa Tengah. Ia bungsu dari lima bersaudara yang kesemuanya sudah berkeluarga. Ia hanya menyelesaikan pendidikan formalnya setingkat SD, tak lebih. Namun, pengetahuan agamanya cukup mumpuni. Pemuda berdarah asli Tasikmalaya ini sudah hampir lima tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya.
Akhir 2013, amanah besar ditumpukan di pundaknya. Menghidupkan sebuah mushola kecil di pinggiran kota Tuban, sebuah kota kecil yang sama sekali tak dikenalnya sebelumnya, selama dua tahun. Posisinya yang memang sudah dikenal cukup baik oleh dywan pengurus dan jajaran pengasuh, membuatnya tak bisa menolak amanah yang besar dan berat tersebut. Dengan berbekal restu orang tua dan keluarga besarnya, ia berangkat ke medan jihad.
Pebruari 2014, babak baru kehidupan Hamdan dimulai. Mushola kecil itu terletak di daerah pegunungan tanah merah pinggiran kota kecil Tuban, Jawa Timur, tak jauh dari lokasi Tempat Pembuangan Akhir. Tak heran jika sebagian penduduk sekitar bermata pencaharian pemulung. Ia menempati sepetak tanah kecil yang berada tepat di belakang mushola.
Sebulan pertama berjalan cukup lancar. Penduduk sekitar bisa menerima dengan baik kehadiran Hamdan sebagai pemuka agama. Sekalipun begitu, andhap ashor Hamdan sama sekali tak berkurang. Kegiatan kegamaan yang diadakannya juga disambut antusias oleh penduduk. Bahkan, dua bulan berikutnya ia sudah mendapat pekerjaan sebagai tenaga pendidik sebuah yayasan besar di pusat kota Tuban. Maha Suci Allah yang memberikan kemudahan bagi hambaNya yang ikhlas.
Menjelang akhir tahun pembelajaran, Hamdan mulai resah dengan fikiran yang ia ciptakan sendiri. Sekalipun baru 24 tahun, ia sudah cukup untuk dibilang laki-laki dewasa. Ya! Hamdan ingin menyempurnakan separuh agamanya diantara hiruk pikuk kehidupan kota dan kebebasan masyarakat kota. Ia tidak ingin terjerumus pada lembah dosa, hal pertama kali yang paling takutkan saat menerima amanah ini.
Meski kedua orangtuanya masih sangat berat, setelah diyaqinkan oleh saudara-saudaranya tentang alasan Hamdan ingin menyegerakan menikah, mereka setuju. Hamdan bernafas lega.
Setelah mengantongi restu tersebut, Hamdan sowan ke ndalem di sela-sela kesibukannya. Sang murobbirruuh mengabulkan permintaan Hamdan. Ia ditawari dua gadis melalui dua lembar photo. Hamdan menolaknya. Wal hasil, ia hanya tahu nama dan asal kedua gadis itu.
Sebut saja, Aisyah binti Rahman, gadis asal Semarang yang menjadi pilihannya setelah beristikhoroh selama seminggu.
Akad dilaksanakan di rumah mempelai perempuan, Semarang, dua minggu setelah pengakuannya di hadapan murobbirruh. Kedua orangtua Hamdan dengan usia udzur, berhalangan hadir. Hanya ada kakak sulung dan kedunya beserta keluarga yang bisa menghadiri acara sakralnya tersebut.
Bagian menarik cerita Hamdan justru bukan tentang Hamdannya. Tapi istrinya, Aisyah. Sulung empat bersaudara ini dari keluarga mapan dan hidup berkecukupan. Setahun lalu ia adalah seorang alumni pesantren besar di Jombang selama tujuh tahun. Sepulang dari nyantri, ia diminta untuk menjadi seorang penggiat dakwah di sebuah masjid besar di pusat kota Semarang.
Sekalipun baru genap 21 tahun esok akhir tahun, tampaknya Aisyah sudah sangat siap menjadi seorang istri. Ia melepaskan atribut keluarga besarnya begitu sang suami, Hamdan, mengajaknya berjihad bersama di tanah perantauan. Aisyah bukan lagi seorang gadis rumahan yang duduk bersantai di depan televisi, kini ia menjadi seorang istri yang benar-benar siap menerima suaminya apa adanya.
Ramadhan ini, menjadi berkah terindah untuk sepasang pengantin baru ini. Di sebuah gubuk kecil, di belakang mushola, di pinggiran kota Tuban.
Hamdan tak tahu bagaimana melukiskan kebahagiaan yang ia rasakan. Memiliki istri sesempurna Aisyah dimatanya, benar-benar membuat hidupnya terasa jauh lebih nyaman. Amanah yang diembannya, sudah bukan lagi sebuah tugas berat yang menjadi bebannya. Bersama istrinya, ia berbagi apapun yang ingin ia bagi.
Dan perempuan hebat itu, Aisyah, semoga di belahan dunia ini masih terdapat banyak Aisyah-Aisyah lain yang juga bisa menerima keadaan suami apa adanya, tidak keberatan untuk diajak berjihad, sangup hidup susah bersama suami.
Maha Sempurna Allah yang menciptakan skenario terindah untuk hambaNya.
Akhie, ukhtie....
Mabruk lakumaa
Mabruk, mabruk
Allaah yubaarik fiek
Sengaja saya samarkan nama atas permintaan yang bersangkutan. Semoga, bisa menjadi inspirasi untuk teman-teman semua.
Senin, 26 Desember 2016
Cerita Sahabat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee