Jumat, 23 September 2016

#7

Langkah Anisa dan Vani terburu melewati koridor sunyi rumah sakit sore itu. Baru saja, Kifa mengabarkan, kalau kakaknya, Rama, mengalami koma. Padahal, sore itu, Anisa baru saja akan istirahat. Karena kemarin, dia baru pulang dari rumah sakit, hampir tengah malam. Pagi tadi, dia harus kuliah untuk mata kuliah khususnya. Dan baru saja merebahkan tubuhnya, Kifa menelponnya. Vani yang saat itu juga sedang di kamar, mengantarkannya.
“Bagaimana keadaan Rama, Fa?”, tanya Anisa saat telah sampai di depan ruangan tempat Rama dirawat.
“Dia koma, Sa. Kami bingung. Padahal, tadi pagi, kakak sempat sadar walalupun cuma sebentar”, jawab Kifa dengan gurat sedihnya. Di belakangnya, seorang gadis tengah memeluk ibunya. Dan itu tak lain, Yesha, adik Kifa yang sedang memeluk Bu Ratih. Tampak pula di sana, Bapak Galuh tengah diliputi kekhawatiran.
“Bagimana keadaanya, Dok?”, tanya Pak Galuh saat seorang dokter keluar dari ruangan. Dokter itu menarik nafasnya dalam-dalam.
“Keadaan belum bisa terdeteksi. Tapi, kami akan berusaha melakukan yang terbaik. Mohon bantuan do’a saja”, ujar dokter itu. Ratih hanya bisa semakin merintih mendengar penuturan dokter tersebut. Anisa tercengang mendengarnya. Vani sendiri tak bisa mempercayainya.
'Kifadela, Yeshareni, Tuan Galuh, Nyonya Ratih. Ramaghaninya di dalam. Kurang Alfabyan. Kasihan banget keluarga ini'.  Bisik hatinya sendiri sambil melihat satu persatu keluarga Gustaviano.
“Kami boleh melihat keadaanya, Dok?”, tanya Anisa.
“Disarankan, tidak terlalu banyak yang masuk dalam ruangan”, jawab dokter itu. Dokter yang sama saat dia dirawat di rumah sakit tersebut.
“Terima kasih, Dok”, ujar Anisa. Dokter itu mengangguk. Kemudian berlalu. Dia sempat menepuk bahu Bapak Galuh. Mengisyaratkan sebuah kekuatan yang harus selalu ada, serapuh apapun keadaan yang dialami.
“Masuklah terlebih dahulu, Nak!”, ujar Galuh sepeninggal dokter itu pada Anisa. Anisa menatapnya, seperti bertanya meyaqinkan. Sosok paruh baya itu mengangguk mantap. Kemudian, ia menoleh kepada Vani.
“Masuk, gih!”, tukas Vani. Anisa segera memasuki ruangan itu.
Anisa serasa tak sanggup untuk melihat lebih dekat lagi. Sosok yang sangat dirindukannya. Sosok yang telah disia-siakannya. Sosok yang telah melukai hatinya. Sosok yang sangat dicintainya. Ia terbaring tanpa daya. Dengan langkah gemetar, Anisa meraih ranjang itu.
Anisa duduk tepat di sisinya yang terbaring, rapat menutup matanya.
“Ram...”, panggil Anisa lirih. Dihapusnya sisa air mata itu. Ia mencoba tersenyum diantara bulir air mata yang tak bisa dihentikannya.
“Seperti ini, kamu menghukum sikapku? Seperti ini, kamu memperlakukan perempuan yang sudah kau lukai? Seperti ini, kamu membalaskan dendammu? Aku tak pernah menginginkanmu pergi. Aku hanya ingin kau tahu, aku selalu ada meskipun aku sudah tak lagi sanggup melihatmu. Aku melakukan itu semua, karena aku tak bisa memungkiri. Kamu begitu berarti buat aku. Semakin kamu mendekati aku, semakin aku tersiksa. Karena, aku juga punya rasa yang sama. Sudahlah, Ram! Kita hentikan permainan kekanak-kanakan kita. Kita mulai semua dari awal lagi. Saling terbuka dan tak harus ada lagi yang ditutup-tutupi”, ujar Anisa sendiri. Sosok itu tentu saja tak bisa meresponnya. Ia hanya diam seolah dia bisa mendengarnya.
“Aku yaqin, kamu adalah laki-laki yang kuat. Dan aku juga sangat yaqin, kamu tidak akan menyerah begitu saja. Aku percaya, kamu sedang berjuang untuk kembali. Kembali di antara orang-orang yang mencintai dan membutuhkanmu. Kamu tidak merindukan teman-teman jalananmu, yang sudah mengajarkanmu arti hidup yang sesungguhnya. Mereka yang tanpa lansung telah membantu distribusi pemasaran project tulisan bukumu. Termasuk aku. Kamu tak ingin berterima kasih pada mereka. Kamu tak ingin tersenyum kembali pada mereka?”, lanjut Anisa kembali.
Sebuah tempat lain...
“Den, gak ikut ke rumah sakit? Tuan muda sedang koma”, ujar laki-laki paruh baya itu. Pemuda yang sedang berenang itu menepi mendekati laki-laki yang berjongkok di tepian kolam renang.
“Aku juga sudah tahu, Bang. Aku gak tega liat keadaan kakak. Aku di rumah saja. Bantu doa. Nanti, ujung-ujungnya, aku juga bakalan nangis”, sahut pemuda dari dalam kolam ronang. Laki-laki itu mengangguk mengerti.
“Abang tumben gak ikut narik?”, tanya pemuda itu.
“Oh, itu Den, teman saya sudah dapat orang yang cocok. Kalau ngandelin saya, ya, kalau bisa. Kalau begini? Di rumah gak ada orang. Saya ya, harus siap sedia di rumah”jawabnya terdengar begitu sopan.
“Tolong handuk, Bang!” perintahnya hormat. Laki-laki itu beranjak mengambil handuk baju di kursi. Pemuda itu mengangkat tubuh basahnya dari dalam kolam renang.
“Saya merasakan ini seperti karma, Bang”, ujar laki-laki itu sambil rebahan di kursi santai depan kolam renang. Laki-laki itu menemaninya. Duduk bersimpuh di bawah.
“Duduk, Bang!”, perintahnya singkat. Laki-laki itu beranjak pelan sekali. Lalu duduk di kursi tepat di samping kursi santai.
“Karma gimana, Den?”, tanyanya tak mengerti.
“Saya pernah menabrak seorang perempuan. Saya sudah berusaha tanggung jawab. Karena saya tidak ingin diketahui, saya langsung pergi sebelum dia sadarkan diri. Dan sekarang, malah kakak saya sendiri yang terkena musibah kecelakaan itu. Terlebih, merenggut penglihatannya. Harusnya, kecelakaan fatal itu menimpa saya. Bukan dia” ungkapnya panjang lebar. Laki-laki itu menyimaknya seksama.
“Den... Siapapun tak inginkan kedatangan musibah. Dan Allah itu menentukan, siapa yang pantas mendapatkan musibah dari Nya. Kalau Allah ternyata memilih Tuan Muda, itu berarti Tuan Muda pasti sanggup untuk menerima ini. Allah tidak memikulkan sesuatau pada hamba Nya yang hamba Nya tak sanggup memikulnya. Dia pasti sedang mempersiapkan hadiah yang indah untuk Tuan Muda”, sahut laki-laki itu yang terdengar begitu bijak.
“Yang dialami Tuan Muda saat ini, tentu saja tidak ada hubungannya sama apa yang sudah Aden lakukan. Toh, walaupun Aden sudah menabrak seseorang, Aden sudah bertanggung jawab, bukan? Bahkan Aden melakukannya dengan tulus. Terbukti, Aden melakukannya dengan diam-diam”, lanjutnya lagi. Pemuda itu mengangguk-angguk.
Pemuda itu termenung. Entah apa yang ada di pikirannya. Laki-laki di hadapannya hanya diam. Tak berani menyahut lagi atau sekedar beranjak meninggalkan si ‘aden’nya tersebut.
'Kamu mulai mencintainya. Sedangkan sekarang kakakmu buta. Kamu tega, mengedepankan egomu? Mikir pakek rasio. Sudah buta, mau kau tambah lagi lukanya! Manusia atau hewan kamu?'
'Harusnya kamu seneng. Kakak kamu buta. Itu berarti, kamu punya kesempatan besar untuk meraihnya. Bukankah kamu langsung mencintainya pada tatapan pertama? Gak usah munafiq!'
'Ingat! Kakakmu sudah terlalu sering membahagiakanmu. Mengajarkan banyak hal melalui kegiatan konyol yang dilakukannya. Lalu, kamu tega, menjatuhkannya yang sudah jatuh?'
'Kamu juga berhak merasakan cinta. Meskipun baru beberapa bulan berkumpul lagi bersama keluarga besarmu, kamu juga berhak merasakan cinta. Anggap saja kamu tidak tahu yang sebenarnya'.
Hatinya berkemelut sendiri.
“AAAARGH!!!”, teriaknya sambil meremas rambut kepalanya yang masih basah. Laki-laki di hadapannya terlonjak kaget. Di tatapnya si ’aden’ dengan penuh tanda tanya.
“Kenapa, Den?”, tanyanya hati-hati.
“Pusing, Bang!”, jawabnya singkat.
“Saya buatkan teh hangat? Atau, jeruk hangat?”, tawarnya. Pemuda itu mengangguk. Laki-laki itu beranjak.
Mentari sore itu, ikut tertawa melihat kebisingan di hati salah seorang yang kini sedang merasakan kemelut hidup. Sinarnya meredup, menandakan tugasnya harus berhenti sejenak.
# # #
“Sa... udah jam 8. Ada mata kuliah pagi, kan?”,panggil Vani yang sedang berbenah di depan cermin. Tak ada suara menyahut.
“Gak biasanya, kamu molor segitunya!”, gerutu Vani kesal. Lalu, dengan malas menuju tangga ranjang.
“Sa...”, panggilnya sambil meraih punggung Anisa yang memang menghadap dinding. Tak ada respon. Vani naik.
“Sa...”, panggilnya lagi.
“Astagfirullah!”, kejutnya saat memegang kening Anisa.
“Panas banget...”, ujarnya sendiri.
“Gak pa-pa. Sono gih, kuliah!”, sahut Anisa lirih.
“Aku kuliah setelah nganter kamu ke dokter. Ayo!”, ujar Vani sambil membantu Anisa bangkit.
“Cuma pusing... Sudah, kamu kuliah gih!”, tolak Anisa lembut.
“Sa...!”, gertak Vani lirih.
“Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ayo!”, tukas Vani dengan lembutnya. Anisa tersenyum mendengarnya. Lalu menurut. Ia tampak begitu pucat. Vani membimbingnya perlahan turun dari ranjang atas.
“Aku telpon taksi dulu!”, ujar Vani. Anisa tak melarangnya. Keadaannya terasa sangat lemah.
“Ayo, keluar!”, ajak Vani sambil menuntun Anisa pelan keluar rumah kost. Keduanya duduk di depan gerbang rumah yang ada kursi panjangnya. Menunggu taksi yang dipesan datang.
Tin, tin!
Baru saja keduanya duduk, tiba-tiba saja sebuah mercy berhenti tepat di depan mereka. Vani memperhatikannya seksama. Tak lama, jendela mobil itupun terbuka.
“Hey!”, sapa seseorang dari balik kaca mata hitamnya, dari arah dalam mobil. Baik Vani ataupun Anisa tak menyahut. Kemudian, sosok itu melepas kaca mata hitamnya.
“Oh...Hay!”, sahut Vani sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bagaimana tidak. Ia ragu untuk mengucap nama yang diingatnya. Ia tersenyum sendiri mengenang kejadian tiga hari yang lalu.
“Mau kemana?”, tanyanya. Anisa diam tak menyahut merasa tak mengenalnya. Ia menyandarkan kepalanya pada dinding pagar. Vani sendiri belum menyahut. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Oh, ini. Mau ke dokter”, jawab Vani jujur.
“Saya antar saja!”, tawarnya singkat.
“Gimana, Sa?”, tanya Vani pada Anisa. Anisa yang sudah tak sanggup lagi untuk sekedar berkata, hanya mengisyaratkan kedipan matanya.
“Ayo, Neng! Kasihan atuh, temannya”, ujarnya lagi. Vani mengangguk setuju. Lalu meraih Anisa untuk berdiri. Terik pagi di setengah delapan itu sudah cukup menggerahkan. Anisa berusaha menopang tubuhnya yang sudah dibantu dengan kedua tangan Vani.
Tapi, apa daya. Anisa lunglai. Ia ambruk. Vani tak sanggup menahannya. Pemuda itu keluar dari mobilnya.
“Aduh, Neng! Ini badannya panas sekali”, ujarnya sambil mengangkat tubuh tak berdaya Anisa.
“Aku sendiri baru tahu tadi pagi”, jawab Vani singkat.
Mobil segera melaju.
“Mantannya itu koma. Dia ikut begadang jagain di rumah sakit. Baru pulang kemaren sore. Taunya, tadi malam sudah sadar tuh mantannya. Semalam sudah nekat mau nyususlin ke rumah sakit. Sama aku gak boleh dong! Orang sudah tiga hari gak tidur. Sekarang, malah sakit sendiri. Padahal, udah giliran mantannya sadar, dianya yang sakit. Ikut pusing!”, cerita Vani panjang lebar dari arah jok belakangnya. Pemuda di hadapannya berkonsentrasi pada kemudiinya.
“Kalau cuma mantan, kenapa harus dibela-belain atuh, Neng?”, sahut pemuda itu. Vani menarik nafasnya dalam-dalam.
“Mantan cuma di mulut. Putusnya juga, ngambang gitu! Gak ada yang mau putus. Tapi, udah gak ada komunikasi. Tapi, masih saling cinta gitu. Tapi juga, tau ah! Panjang ceritanya. Kayak cerita sinetron seribu episode”, jawab Vani dengan kocaknya. Pemuda itu terkekeh mendengarnya.
“Eneng teh, bisa saja bercandanya!”, sahutnya. Vani tersenyum mendengarnya. Pemuda itu melihat keduanya dari kaca depan.
Selebihnya, terjadi kebisuan panjang hingga sampai di rumah sakit.
“Eneng tunggu sini dulu! Saya panggil petugas supaya diusungkan branker”, tawar pemuda itu. Ia tak lupa mengenakan kaca mata hitamnya kembali. Vani menatapnya aneh.
Tak lama setelah itu, dua orang petugas rumah sakit datang dengan branker. Pemuda itu membukakan mobil. Tubuh tak sadarkan diri Anisa diangkat. Vani dan pemuda itu mengiring.
Vani sendiri menunggu dokter keluar dengan berita bahagia. Pemuda yang tadi menemaninya, harus pamit lebih dahulu. Ada kepentingan keluarga katanya. Dan ia tak menyadari, lagi-lagi, dia belum bertanya tentang nama pemuda itu. Meski ia sudak tak lagi lupa mengucapkan terima kasih.
“Bagaimana, dok?”, Vani beranjak dari duduknya satat laki-laki berjas putih itu keluar dari ruangan.
“Pasien hanya kurang istirahat dan terlalu lelah. Butuh pemulihan untuk daya tahan tubuhnya yang melemah. Sebaiknya, pasien dijauhkan dari sesuatu yang bisa membuatnya stres atau lelah. Karena psikis seseorang itu juga sangat berpengaruh pada kesehatan seseorang”, jelas dokter itu panjang lebar. Vani mengangguk-angguk bernafas lega. Dokter itupun pamit dan berlalu. Vani masuk ke dalam ruangan.
“Ini dimana, Van?”, tanya Anisa saat ia terbangun. Keadaanya tampak sangat lemah. Apalagi wajh putihnya yang menambah kesan sangat pucat.
“Rumah Sakit lah...Masak di kebon!”, canda Vani dengan senyum lebarnya. Anisa menarik bibirnya, memaksa tersenyum simpul.
“Apa yang kamu rasain?”, tanya Vani kemudian.
“Sakit semua, Van!”, jawab Anisa singkat dan litrih.
“Tau rasa kamu! Rama, Rama, Rama mulu yang dipikirin!”, ejek Vani dengan bibir monyongnya. Anisa benar-benar tersenyum mendengarnya.
“Aku cari makan dulu, ya? Belum sarapan, kan?”, tawar Vani lembut. Anisa mengangguk mengiyakan. Vani segera beranjak keluar rungan meninggalkan Anisa hanya sendiri. Mencari kantin rumah sakit dan membeli dua bungkus nasi. Vani tak ingin membuat Anisa lebih lama menunggu. Ia bersegera kembali ke ruangan Anisa.
Namun, saat melewati lobby rumah sakit, langkahnya tertahan oleh sesuatu yang dilihatnya.
“Udah tau kak Rama masih sakit, kakak sukanya ngilang mulu!”.
“Kakak gak ngilang, dik! Hanya melakukan sesuatu yang memang seharusnya kakak lakuin. Gak di sisi kak Rama bukan berarti kakak gak peduli dengan keadaan kak Rama”.
Laki-laki itu memunggungi pandangan Vani. Meski bisa dilihatnya dengan jelas, bahwa perempuan itu adalah Kifa. Seseorang yang dikenalkan oleh Anisa dalam album photonya. Dan Vani memang tak pernah mengenalnya.
'Ngapain juga aku nguping pembicaraan mereka? Gustaviano! Aku masih terlalu kagum sama nama itu'. Vani menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Langkahnya akan kembali meneruskan berjalan kembali ke ruangan Anisa saat menyadari sesuatu. Ia kembali ke posisi awalnya saat mendengar percakapan tadi.
'Kan, telat! Penasaran sama rupa laki-laki itu. Proporsi tubuhnya, kayak familiar banget. Itu pasti Alfabyan. Orang Kifa manggilnya kakak'. Tebaknya sendiri. Namun, hatinya masih kesal mengingat hal tadi. Ia sempat meninju angin untuk meluapkan kekesalannya.
“TARA!”, kejut Vani seperti menghibur anak kecil. Anisa yang sudah bisa kembali tersenyum melihat tingkah sahabatnya tersebut.
“Habis sarapan, langsung pulang yah!”, tukas Anisa saat Vani membukakan nasi untuknya. Vani menatapnya, mengerutkan dahinya penuh tanya.
“Belum mandi!”, lanjut Anisa singkat. Vani terbahak mendengarnya.
“Baik Tuan Putri”, sahut Vani yang masih menyisakan tawanya. Anisa tersenyum melihatnya.
# # #
Malam yang sangat indah. Jutaan bintang mencerahkan pekat malam. Diindahkan dengan separuh bulan yang menggantung. Angin pun bersahabat. Berhembus memberikan kesejukan. Menyatu dengan irama dingin yang menyelimuti gelap berhias cahaya langit.
“Kak... Ada tamu untuk kakak”, ujarnya hati-hati. Laki-laki itu bergeming. Tak menyahut walau dengan sedikit gerakan.
“Kak...”, panggilnya pelan dan hati-hati sekali.
“Katakan saja kakak sedang tidur”, ujarnya tanpa menoleh. Ia begitu larut dengan suasana di hadapnnya. Sebuah kolam renang dimana tamannya langsung mengarah langit.
“Tapi, kak...”, sanggahnya. Namun, urung dilanjutkannya. Seseorang memegangi tangannya. Kemudian mengangguk.
“Aku yang datang, Ram”, suara lembut itu menyahut. Sosoknya  bergeming. Tak merespon sama sekali.
“Aku datang bukan dengan belas kasihanku atas apa yang sudah menimpamu. Aku datang tidak untuk membalaskan semua luka yang sudah tergores dalam hati. Dan juga, aku tidak datang dengan semua egoku yang sudah kutimbun dalam bersama lelahku”, ujarnya tegas. Namun, tetap lembut.
“Namun... Aku datang kembali dengan semua yang telah kau berikan untukku. Aku ingin kau tahu. Bahwa aku sudah memahami semua”, lanjutnya lagi. Ia mendekat ke arah laki-laki yang sejak tadi bergeming dalam kursi rodanya.
“Tapi, aku tak akan lagi bisa untuk membahagiakanmu? Aku tak akan pernah bisa melihatmu kembali”, sahutnya meski seperti tak merespon keberadaan seseorang di belakangnya.
“Ram, apa aku pernah bertanya tentang materi yang kau punya? Apa aku pernah memuji kelebihan yang nampak pada dirimu? Atau, apa aku pernah menghina kekuranganmu yang sering kau keluhkan? Lalu, apa karena kau buta, lantas aku tak lagi menyamakanmu dengan Rama yang dulu aku kenal?”, sanggahnya tegas dan lembut.
Sejenak membisu disapa oleh angin.
“Boleh jadi, aku tak lagi mau melihatmu. Tapi, itu bukan berarti aku merubah sifatku. Aku, masih seperti Anisa yang dulu kau kenal. Tak akan pernah berubah”, lanjutnya. Sosoknya mnedekat. Meraih bahu yang nampak dari kursi roda.
“Percayalah, Ram! Aku tak pernah mebunuh rasa cintamu dan cintaku sendiri”, ujarnya yang tak lagi sanggup menahan air di ujung matanya.
Tangan kekar itu meraih jemari di bahunya.
“Terima kasih, Anisa...”, ujarnya sambil menggenggam tangan itu erat. Anisa larut dalam tangis bahagianya. Ada hati yang juga ikut tersenyum melihatnya. Nyonya Ratih dan Kifa yang sejak tadi melihat keduanya dari arah dalam rumah. Keduanya ikut menangis bahagia.
Dan lagi, dari balkon atas rumah berlantai dua itu.
Laki-laki itu meneteskan air matanya. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Yang pasti, bibirnya tersenyum seolah ikut merasakan bahagia yang sedang menyelimuti dua hati di bawah sana. Dan tak seorangpun tahu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee