Vani celingukan mendapati kamarnya masih tertutup.
“Perasaan tadi, pamit pulang duluan!”, gerutunya sendiri sambil berjalan malas menuju kamarnya. Pintunya masih terkunci. Kamarnya juga masih rapi. Vani menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Tuh orang, sekarang hobbynya ngilang mulu!”, gerutunya lagi sambil meletakkan tas dan mapnya di atas meja. Lalu rebahan di atas ranjangnya. Memainkan ponsel yang dirogohnya dari saku.
Nomor yang anda tuju, tidak dapat dihubungi. Silahkan hubungi beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut.
Vani memandang ponselnya kesal.
Dengan malas, Vani beranjak menuju keluar kamar. Di ruang tengah, dilihatnya dua orang temannya sedang asyik melihat acara TV.
“Ada yang tahu Anisa, gak?”, tanya Vani cuek. Tak ada sahutan. Keduanya terlihat serius menatap layar TV.
'Anak sulung pengusaha besar Galuh Gustaviano, Ramaghani E.G. tadi pagi mengalami kecelakaan serius yang membuatnya kini harus dirawat di Rumah Sakit Daerah. Kabarnya, kerena kecelakaan ini, dia akan mengalami kebutaan. Berikut, laporan yang akan disampaikan langsung oleh rekan kami. Agus, silahkan...
Baik Tina, terima kasih.
Kecelakaan ini terjadi akibat Rama yang hendak menghindari seorang pemulung tua yang sedang menyeberang jalan. Ini murni kecelakaan. Ada banyak saksi pada saat kejadian berlangsung'.
Vani ikut terkejut mendengar sekaligus melihat berita itu.
"Kasihan, yah! Padahal, udah perfect banget. Ganteng, tajir, berpendidikan,baik lagi. Eh, buta!”, komentar salah satu dari keduanya. Vani yang mendengarnya ikut melengos. Masih dengan rasa tak percayanya, dia kembali ke kamar.
'Apa mungkin, Anisa sekarang lagi di sana? Boleh juga iya. Eh, bukan boleh juga. Tapi, pasti lagi di sana. Dan...hohoho! Rama buta. Gimana perasaan Anisa? Eh, tapi tunggu dulu. EG. Apaan tuh? Galuh Gustaviano? Pengusaha besar? Perasaan gak pernah dengar. Plus, gak pernah tahu'. Vani menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibuatnya sendiri.
Tiba-tiba saja, matanya berbinar. Dia bangkit dari tidurnya dan dengan kilat menuju meja. Diraihnya tab yang ada di dalam laci.
Galuh Gustaviano. Klik!
Vani tercengang melihat berita tentang pencariannya. Lalu, ia memilih salah satu link. Dan, klik!
'Laki-laki yang dulunya hanya kuli bangunan itu, kini jadi orang nomor wahid di Jakarta. Siapa yang tak mengenal Galuh Gustaviano. Seorang pengusaha sukses yang berhasil memperkerjakan banyak pengangguran sehingga mengurangi angka penduduk yang tidak bekerja. Bukan hanya di dunia advertising. Bidang kuliner, mekanik, hingga pertanian dia jelajahi.
Laki-laki yang kini sudah meginjak usia 53 tahun itu, mewariskan sifat kesosialan dan kedermawanannya pada ke empat putra-putrinya. Ramaghani El-Gustav, Alfabyan El-Gustav, Kifadela El-Gustav dan Yeshareni El-Gustav. Suami dari Ratih Rahardian ini, mengaku tak pernah menduga sebelumnya akan mendapatkan lebih dari yang mereka inginkan.
Namun, terlebih dari itu semua, mereka sama sekali tak punya rasa tinggi hati. Karena pengalaman yang mengajarkan mereka untuk selalu mengingat tentang masa lalu suram mereka. Hingga kesembilan pembantu yang ditempatkan di rumah pusatnya, mengaku seperti tinggal di istana. Karena pelakuan mereka yang me’manusia’kan pembantu.
Keluarga Gustaviano juga pribadi yang tak ingin dikenal masyarakat luas. Walaupun mereka bersosialisai dengan siapapun, mereka tak pernah mmerasa ingin dikenal. Hingga dikabarkan, kedua putra Galuh Gustaviano ini lebih memilih hidup apa adanya daripada hidup bermewah-mewah. Ya! Ramaghani dan Alfabyan sempat meninggalkan rumah karena merasa jenuh dengan rutinitas mereka. “Kami tak ingin menumpang nama pada ayah”, ungkap keduanya saat teman yang lain menanyakan.
Banyak pribadi Galuh Gustaviano yang menurun pada putra-putrinya. Bukan malah sebaliknya. Zaman sekarang, remaja lebih senang menggunakan harta dan fasilitas orang tuanya. Tapi, tidak untuk kedua pemuda yang untuk saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa.( Ramaghani S2 dan Alfabyan S1).
Begitu juga untuk perawan Gustaviano ini. Kifa dan Yesha lebih senang pulang pergi sekolah dan kampus naik bus daripada harus diantar jemput oleh supir pribadinya.
Itu semua, baru penggambaran singkat tentang keluarga Gustaviano. Sulit untuk mendapatkan keterangan lebih. Karena pada awalnya, mereka memang tak ingin dipublikasikan seperti ini. Jadi, keterangan ini, adalah hal kasat mata yang semua orang pun tahu tentang ini'.
Mata Vani seperti hendak terlepas dari tempatnya setelah membaca sederatan tulisan itu. Bagaimana tidak? Orang nomor wahid. Dan sahabatnya, Anisa, mengenalnya dengan baik tapi tak pernah menyadarinya.
“My God! Jadi, E G itu El-Gustav. Pasti nyesel Anisa sudah mutusin Rama. Tapi... Sekarang, dia buta. Hohohohoho! Ah, kalau cinta, mau gimana lagi? Tapi, aku yaqin, rasa cinta mereka masih sama kuatnya”, Vani berkata-kata sendiri. Bayangan di kepalanya berkecamuk tak karuan.
Lalu, matanya kembali berbinar lagi. Gambar, klik!
“Gambar orangnya mana? Photo Rama sendiri saja, juga gak ada! Kantor. Kantor. Kantor. Restoran. Sawah. Pabrik. Mana sih? Gak ada...”, keluhnya sendiri sambil memainkan tabnya.
“Ini dia! Kok, gambar jadul gini”, gerutunya saat membesarkan gambar yang ditemukannya di halaman terakhir.
“Ini mah, photo jamannya kakek nenekku! Rama yang anak sulung saja, baru sebahunya Pak Gustav”, lagi-lagi Vani menggerutu kesal.
“Bener kali, yah, tulisan tadi? Mereka memang tidak ingin dipublikasikan. Ini, malah kantor dan bisnisnya yang dipublikasikan”, Vani menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Close. Vani mematikan tabnya. Mengembalikannya ke tempat semula. Dihembuskannya nafas besar-besar.
“Perasaan, setiap kali aku melakukan sesuatu, pasti sia-sia. Aku yang lola, bego’ atau apa yah? Iiirgh....”, Vani memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kedua kepalan tangannya.
Krck...krck...krck...
“Laperr...”, jerit Vani sambil memegangi perutnya. Dilihatnya weker di meja yang menunjuk arah pukul tiga sore.
“Anisa pasti lagi makan enak sama keluarga Gustav. Mending, aku cari makan sendiri saja! Nungguin Anisa pulang, gak jamin deh! Yang ada, aku akan mati kelaparan”, ujarnya sendiri sambil beranjak dari kursinya.
“Tar, kalau Anisa datang, bilang aku cari makan”, ujar Vani saat melintasi dua temannya tadi yang belum beranjak dari depan layar TV. Tak ada yang menyahut. Tapi, keduanya menoleh dan kompak mengangguk.
Vani melangkahkan kakinya ringan.
Baru saja keluar dari pagar rumah kostnya, Vani hampir terserempet sepeda motor yang melaju dengan kencang. Ia sempat mengaduh kesakitan di bagian betisnya. Tak jauh darinya, sepeda yang menyerempetnya berhenti. Kemudian berbalik arah menuju Vani.
“Kamu baik-baik saja?”, tanyanya dari atas sepedanya.
“Aku kasih tahu ya, baru dua minggu kemaren temen aku ngamar gara-gara kecelakaan. Sekarang, mau giliran aku? Syukurlah... Cuma terbaret”, cerocos Vani yang masih menahan sakitnya.
“Maaf, Neng. Pikiran kacau”, jawabnya lugu. Vani menolehnya.
“Kamu?”, Vani menatapnya tanpa berkedip.
“Eneng mengenal saya?”, tanyanya sopan.
“Kamu yang sudah nabrak temen aku dua minggu yang lalu, kan? Gak salah lagi! Aku yaqin!”, ujar Vani tegas seperti melupakan rasa sakit di betisnya.
“Maksud Eneng apa, atuh?”, tanyanya tak mengerti.
“Kamu gak lagi pura-pura lupa, kan? Dua minggu yang lalu, kamu menabrak seorang perempuan dan kamu bertanggung jawab atas perbuatanmu. Tapi, kamu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Aku yaqin itu kamu”, celoteh Vani panjang lebar. Laki-laki itu menatapnya penuh tanda tanya.
“Eneng yang saya tabrak?”, tanyanya lagi. Dengan tidak hormatnya, Vani menjitak kepala laki-laki itu.
“Sahabatku....! Telinga mampang gitu udah gak berfungsi? Sekarang, aku butuh banget sama kamu. Maen ngilang aja! Belom ketemu sama yang ditabrak juga!”, ujar Vani dengan gemas. Laki-laki itu tersenyum geli melihat sikap perempuan di hadapannnya.
“Iya sih, Neng! Habis, waktu saya pamit, Eneng kayak gak peduli banget sama saya. Ya sudah, saya langsung pulang”, tanggap laki-laki itu dengan jujurnya. Vani melihatnya.
“Kamu nabrak Anisa kan pakek mobil? Trus, mana mobilnya? Kok, ganti sepeda butut gini?”, tanya Vani yang asal ceplos.
“Gara-gara abis nabrak Neng, saya takut bawa mobil lagi”, jawabnya.
“Oh, iya. Ngomong-ngomong, Eneng mau kemana? Biar saya antar. Yah, kalu gak mau juga gak pa-pa. Pakek sepeda butut soalnya!”, tawar laki-laki itu yang sejak tadi tidak turun dari sepedanya.
“Yah...sekalian nanti bahas tentang apa gitu”, lanjtnya lagi.
'Hadeuh...Gak nolak banget!' Hatinya bersorak gembira.
“Cuma mau cari makan di warung sebelah. Ikut ajah!”, Vani balik menawarkan. Laki-laki itu tersenyum mengangguk.
“Sepedanya jangan di pinggir jalan gini! Bawa masuk ajah!”, tukas Vani saat laki-laki itu mendiamkan sepedanya tepat di sisi trotoar. Laki-laki itu kembali mengangguk menurut.
Tepat di samping rumah kost, memang ada sebuah warung makan yang lumayan besar. Vani mempersilahkannya.
“Kamu kayak sengaja banget deh, nghilang-nghilang gitu. Padahal, temenku penasaran banget sama kamu. Apalagi, dokter yang menanganinya juga bercerita kalau malamnya, kamu sempat mendonorkan darah untuknya. Itu tentu saja hutang nyawa. Dan harus kamu tahu. Temenku itu... Tipe-tipe orang yang....terlalu baik sama orang. Makanya, kalau dibaikin orang, dia seneng banget”, cerita Vani panjang lebar sambil menunggu makanan yang dipesan datang. Laki-laki itu menyimaknya.
“Jadi ngerasa gak enak sendiri. Ok-lah! Kapan-kapan Eneng bantuin saya ketemu dia”, ujarnya. Vani mengangguk-angguk setuju.
Makanan sudah datang. Keduanya makan dengan saling diam.
'Mimpi apa, aku semalem? Makan bareng cowok sekeren dia. Hi, hi, hi...' Vani meringis sendiri sambil melirik laki-laki di seberang mejanya.
Laki-laki itu beranjak saat piringnya sudah bersih. Ia beranjak menuju kasir. Vani terdiam tak mencegahnya.
“Makasih...”, ujar Vani singkat saat sosok itu sudah kembali di hadapannya. Ia tersenyum.
“Saya langsung balik. Sudah sore”, pamitnya. Vani mengangguk menyadari hari memang sudah sore. Pukul empat sore.
Tiba-tiba, mata Vani melotot. Ia teringat sesuatu. Dengan langkah seribu, ia segera keluar. Dilihatnya, sosok yang dicarinya sudah bersiap-siap dengan deru sepeda motor yang keras.
“Hey! Nama kamu siapa?”, teriak Vani saat sepeda itu sudah melaju.
“FABY!”, teriaknya tanpa mengurangi laju sepeda yang dikendalikannya. Vani menggaruk kepalanya, bingung.
“Febby? Kayak nama cewek gitu sih? Atau akunya yang salah dengar? Tapi, aku bukan penderita THT kali...”, geramnya sendiri.
“Beneran Febby? Atau, Gaby? Jangan-jangan...Baby”, vani begidik sendiri, lalu berlari menuju rumah kostnya.
Senin, 19 September 2016
#6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee