Jumat, 16 September 2016

#5

“Rama...”, Vani tak meneruskan kata-katanya saat dilihatnya Anisa sudah mengangguk mengerti.
“Jadi kamu sudah...”, dan lagi-lagi, Anisa mengangguk.
“Tapi, Sa. Apa salahnya dia? Harusnya kamu seneng dong, kalau ternyata dia orang kaya. Kok malah diputusin?”, tanya Vani lugu. Anisa menarik nafas dalam-dalam.
“Van...Buat aku, materi tuh gak penting! Yang penting, hati. Dan sebuah hati, pasti menjunjung tinggi kejujuran. Bukan malah sebaliknya. Aku bukan hanya kecewa karena dua kebohongan besarnya. Tapi, aku juga ngerasa, kalau dia sudah memanfaatkanku. Kamu bisa bayangin, demi observasi tulisan buku motivasinya, dia deketin aku dan bersandiwara hingga satu tahun lamanya. Dan bodohnya aku, begitu mudah untuk jatuh dalam permainannya”, jawab Anisa panjang lebar.
“Kalau saja temanku tidak jujur tentang semuanya, mungkin aku gak akan pernah tahu tentang semua ini. Dan untungnya, dia sangat menghargaiku. Aku juga sangat menghargai kejujurannya. Oleh karena itu, aku tak marah padanya. Dan kekecewaanku memuncak saat bukunya telah terbit dan dengan begitu mudahnya melupakanku sesaat. Aku tak habis pikir. Entah apa yang ada di kepalanya. Berpura-pura menjadi seorang pengamen, mengaku orang tak punya. Dan masih bisa-bisanya bilang cinta. Gak ngerasa banget, kalau sudah nyakitin aku. Yah...meskipun aku memang sudah memaafkannya”, lanjut Anisa panjang lebar. Vani mengangguk-angguk mengerti.
“Kamu yaqin, sudah memaafkannya?”, tanya Vani meyaqinkannya. Anisa menatapnya. Vani masih menunggu jawabannya.
“Entahlah, Van! Rasanya, separuh hatiku memang sudah benar-benar  terpaut padanya. Dan aku ingin membuangnya jauh-jauh. Tapi, semakin aku membuangnya, semakin rasa itu kuat dalam hatiku. Aku merasa sudah dibodohi oleh perasaan tak menentu ini. Dan aku ngeh! Aku sudah mencoba berbagai cara, supaya aku tak lagi mengingatnya. Tapi, itu sama dengan membunuh separuh hatiku. Dia terlalu sulit untuk dilupakan. Dan aku tak tahu, harus bagaimana lagi”, jawab Anisa panjang lebar. Vani ikut menarik nafas besarnya. Dilihatnya mata sendu sahabatnya.
“Kamu gak pernah tahu, bagaimana indahnya saat kau dicintai orang yang kau cintai. Istilahnya, gayung mendayuh tangan bersambut. Tapi, semuanya lenyap hanya karena kebohongan. Dan aku sulit untuk memaafkan sebuah kebohongan. Sedangkan dia, sudah lebih dari seribu kebohongan yang dia suguhkan padaku”, ujar Anisa kemudian.
“Kamu pasti akan mendapatkan ganti yang jauh lebih baik. Yah...Walaupun itu berarti kamu harus membunuh semua kenangan kamu sama dia. Tapi Sa, bagaimanapun juga, kamu harus memilih. Dan sebuah pilihan harus ditentukan berdasarkan bisikan hati”, tukas Vani. Anisa menatapnya sambil tersenyum. Vani membalas senyum itu.
“Kok ngelihatinnya begitu?”, tanya Vani sambil melotot.
“He,he,he...Tumben saja kamu bisa ngasih aku solusi”, ujar Anisa dengan senyum  jahilnya. Vani melengos.
“Eh, tapi, Van. Kalau bisikan hatiku bilang, aku gak boleh ninggalin si dia, gimana?”, tanya Anisa mengalihkan pembicaraan. Vani menatapnya.
“Itu yang susah, Sa! Tapi, apa iya, hati kamu bilangnya gitu?”, tanya Vani memastikan. Anisa tersenyum sesaat. Lalu mengangkat bahunya.
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Aku akan selalu dukung kamu selama itu memang terbaik buat kamu”, ujar Vani kemudian sambil menepuk pundak Anisa. Keduanya saling membisu menatap langit dari kasur atas di kamar kost mereka. Jendela bening itu menyampaikan isi hati keduanya pada angin di luar, juga cahaya bintang yang meramaikan singgasana langit.
# # #
Siang yang sangat panas. Anisa masih menunggu bus di halte. Tadi, Vani bilang ada jam tambahan saat dia mengajaknya pulang. Jadilah, dia pulang sendiri. Dan Anisa, lebih senang naik bus kalu pulang dari kampus. Kadang, Vani menertawakannnya. Bagaimana tidak? Kalau jalan-jalan sendiri, Anisa lebih memilih naik taksi. Sedangkan panas-panas dari kampus, justru memilih untuk naik bus. Anisa saja menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Dari jauh, bus sudah nampak. Beberapa orang yang menanti di halte berdiri. Anisa sendiri ikut berdiri.
“Huuuft!”, ekspresi Anisa saat menaiki bus kota itu. Sudah bisa dipastikan dia akan berdiri. Bus sudah full. Anisa sendiri memilih berdiri di dekat pintu masuk bus bagian belakang.
“Turun mana, Neng?”, tanya si abang kondektur yang berdiri tepat di samping Anisa.
“Pertigaan Ambakarti, Bang”, jawab Anisa ramah.
“Anak kost ya, Neng?”, tanyanya lagi. Anisa mengangguk.
“Aslinya mana, Neng?”, dia bertanya lagi.
“Semarang, Bang”, jawab Anisa singkat.
“Rekan saya juga dari Semarang, Neng. Tapi, gak tau Semarang mana? Saya ini, asli Solonya. Mengadu nasib di kota besar, Cuma bisa jadi pembantu. Untungnya, majikan saya baik”, ceritanya panjang lebar. Anisa menghargainya. Didengarkannya cerita panjang si Abang kondektur.
“Ini, kebetulan saja ada tawaran jadi kondektur. Hebatnya, majikan saya tidak melarang. Malah, mewanti-wanti saya supaya jangan cepat percaya sama orang lain di kota besar kayak gini. Coba, Neng pikir! Jarang bukan, orang kayak gitu di kota besar gini? Saya merasa sangat beruntung, Neng”, lanjutnya lagi. Anisa ikut termenung. Andai saja aku bisa ketemu orang sebaik itu. Angan Anisa sendiri sambil tersenyum.
“Pasti Abang betah ya, kerja di sana?”, tanggap Anisa.
“Bukan hanya betah, Neng. Saya sudah delapan tahun bekerja di sana. Dan saya tidak pernah dianggap pembantu oleh mereka. Apalagi memperlakukan saya dengan perlakuan yang tidak wajar. Saya kayak bukan orang lain, Neng”, jawabnya panjang lebar. Anisa ikut tersenyum mendengarnya.
'Aku ingin sekali menjadi orang-orang yang bermanfaat untuk orang lain. Apalagi sampai di kenang kabaikannya dan di ceritakan oleh orang lain. Ah! Kebaikan untuk diriku sendiri saja, aku tak bisa melakukannya. Lebih-lebih orang lain. Tapi, aku akan tetap berusaha supaya orang-orang di sekelilingku senang karena kehadiranku'. Bisiknya sendiri. Rambut sebahunya, berterbangan indah diterpa angin. Si Abang kondektur mulai sibuk dengan cuap-cuapnya.
Tiba-tiba saja, ponselnya berdering.
“Assalamu’alaikum, Kifa”, sapa Anisa lembut.
“Wa’alaikum salam. Anisa...”, suara itu lebih terdengar seperti isak.
“Ada apa, Kifa? Mengapa kamu menangis?”, tanya Anisa cemas saat didengarnya suara parau temannya.
“Kakak, Sa. Aku mohon...”, jawab Kifa masih dengan suara kacau bercampur isaknya. Anisa semakin bingung.
“Apa yang terjadi, Fa?”, tanya Anisa lebih tegas.
“Kak Rama kecelakaan. Sekarang keadaannya kritis. Sudah sejak tadi pagi. Mama ngelarang aku buat kasih kabar kamu. Tapi, aku gak tega lihat keadaan Kak Rama. Aku gak tahu musti gimana lagi? Aku mohon, Sa. Datanglah! Sekadar melihat keadaan Kakak”, jelas suara seberang panjang lebar. Anisa tercenung sesaat. Pikirannya tak karuan.
'Apa aku akan kuat melihat keadaannya? Sedangkan, seminggu yang lalu, aku sudah menyia-nyiakannya begitu saja. Ya Allah, mengapa ini harus terjadi? Tak dirasanya, air matanya menetes.
Aku tak mungkin bertemu dengannya lagi'. Teriak hatinya.
“Dimana dirawatnya?”, kata-kata itu yang justru keluar dari mulutnya.
“Rumah Sakit Daerah. Kamu serius mau datang?”, tanya Kifa.
“Kita lihat saja nanti”, jawab Anisa singkat lalu memutus hubungan. Anisa tak kuasa membendung air matanya. Namun, ditahannya. Karena dia sadar, dia berada di tempat umum.
“Kenapa, Neng?”, tanya Abang kondektur pelan-pelan. Anisa menoleh mantapnya. Lalu menggeleng.
“Gak kenapa-napa, Bang!”, jawab Anisa sambi menghapus sisa-sisa air matanya. “Saya turun depan saja, bang!”, ujar Anisa saat baru melintas perempatan jalan. Abang kondektur itu melongo. Namun, segera tersadar.
“Kiri, kiri...!”, komando si Abang kondektur. Laju buspun menepi.
“Beneran, Neng turun sini?”, tanyanya sesaat sebelum Anisa turun. Anisa hanya mengangguk. Lalu turun setelah si abang kondektur turun untuk memberikan jalan.
“Saya doakan semoga Eneng baik-baik saja”, ujar si Abang kondektur sebelum bus melaju. Anisa sempat tersenyum sebagai ungkapan terima kasihnya.
Di bawah terik matahari, Anisa berjalan menyusuri trotoar hingga sampai tepat di depan sebuah gedung. Langkahnya menuju sebuah taksi yang sedang parkir. Tak lama, ia membuka pintunya.
“Rumah Sakit Daerah, Pak!”, ujarnya saat sudah duduk di jok belakang taksi. Supir itu mengangguk mengerti.
'Betulakah apa yang sudah aku lakukan ini? Aku memang tak seharusnya menghakiminya. Aku terlalu sulit untuk mengenyahkan bayangnya dalam anganku. Tapi, mengapa setiap mengingat dustanya, hatiku terasa sakit? Tuhan, sebenarnya, bagaimana perasaanku saat ini? Masihkah aku mencintainya? Tapi, mengapa aku begitu sulit menerima kebohongannya?' Gundahnya sendiri. Air matanya terus berlinang.
September, 2015....
Anisa baru pulang dari kampusnya. Hari yang melelahkan untuk Orientasi terakhirnya. Vani, teman satu kamar di rumah kost barunya itu, menyapanya hangat.
“Kok baru pulang?”, sapa Vani. Anisa menoleh lalu mengangguk.
“Nunggu busnya kelamaan”, ujar Anisa kemudian.
“Naik bus juga. Tahu gitu, bareng sama aku saja. Kirain, kamu naik taksi”, tukas Vani. Ia mendekat ke arah Anisa, menawarinya sebotol kaleng softdrink. Anisa menatapnya. Vani mengangguk.
“Asli dari Jakarta, ya?”, tanya Vani ramah.
“Gak. Dari Semarang. Tapi, udah di Jakarta dari SMA”, jawab Anisa cepat. Vani kembali rebahan di kasurnya.
“Kost juga?”, tanyanya lagi. Anisa mengangguk.
“Di bilangan Bintaro. Ke sini kan, ngejar yang terdekat sama kampus”, ujar Anisa. Vani mengangguk-angguk mengerti.
“Sendirian saja di Jakarta?”, tanyanya lagi.
“Gak! Awal-awal ke Jakarta, ikut Tante. Rumahnya di daerah Tanah Abang. Aku kasihan sama Oom, harus antar jemput aku sekolah. Aku nekat kost. Walapun awalnya, dilarang sama tante. Keluarga di Semarang juga melarang. Ya...sampai sekarang ini”.
Jreng,, jreng,, jreng,,
Ingin kugapai bulan dan kupetik bintang
Ingin kuberikan semua hanya untukmu
Agar kau tahu besarnya cintaku kepada dirimu
Kuingin kau tahu tentang perasaanku
Kuingin kau tahu besar cinta padamu
Ingin kuberikan sisa waktuku dan sisa umurku
Sampai mati
Mata Anisa tak berkedip dari jendela besar di hadapannya yang terbuka dengan lebarnya. Memperlihatkan seorang laki-laki yang tengah menggendong gitarnya sambil bernyanyi santai. Seperti dunia hanya miliknya. Tak pedulikan panas di luar sana.
“Abang!”, panggil Anisa dari jendela. Laki-laki itu celingukan mencari sumber suara. Setelah mendapati bayangnya, dia mendekat, melihat Anisa yang melambaikan tangan memanggilnya.
“Abang bisa lagunya westlife?”, tanya Anisa saat pengamen itu sudah berada tepat di muka jendela. Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum aneh melihat ekspresi kebahagiaan Anisa. Perlahan, dia mengangguk.
“I have a dream ya, bang!”, ujar Anisa masih dengan senyum yang mengembang. Pengamen itu mengangguk mengiyakan.
Jreng,, jreng,, jreng,,
I have a dream, a song to sing
To help my cope, with anything
I believe in angel
Something good  in everything I see
I believe in angel
When I know the time is righ for me
Anisa tersenyum setelah pengamen itu selesai menyanyikan lagu yang diminta Anisa.
“Abang bahasa inggrinya fasih ya?”, tanya Anisa. Laki-laki itu tersenyum bingung sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“He, he, he... Bingung mau jawab apa ya, bang? Gak usah dimasukin ati. Ini!”, ujar Anisa sambil memberikan selembar 5 ribuan. “Besok datang lagi ya, bang!”, ujar Anisa ramah. Pengamen itu menerima uang pemberian Anisa. Lalu tersenyum mengangguk.
“Jangan terlalu baik sama orang asing! Ini kota besar”, ujar Vani sepeninggal pengamen itu.
“Kayak aku pendatang baru ajah!” tanggap Anisa sambil melewati Vani yang kasurnya ada di bawahnya.
“Iya, ya. Lupa aku! Wah, beruntung banget, aku bisa sekamar sama kamu. Kemana-mana ngajakin aku yah! Udah hafal daerah Jakarta?”, tukas Vani panjang lebar. Anisa di atas yang bersiap-siap rebahan, menoleh ke bawah.
“Sampe’ di bawah jembatan-jembatannya, aku juga hafal!”, canda Anisa. Vani tertawa lebar mendengarnya.
“Asyiiik....!”, sahut Vani. Anisa tersenyum melihatnya.
“Eneng, sudah sampai...”, suara supir taksi itu mmembuyarkan lamunan panjang Anisa. Dia menyadari sudah berada tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Anisa memberikan uang sesuai dengan yang tertera di argometer.
“Terima kasih, Pak”, ujar Anisa singkat sebelum turun dari taksi.
“Sama-sama, Neng”, sahutnya.
Langkah Anisa sedikit ragu melewati pintu bening tersebut. Hingga sampai tepat di meja receptionist.
“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”, sapa suster tersebut ramah. Anisa masih terdiam sesaat.
“Pasien atas nama Rama. Ramaghani”, ujar Anisa lirih.
“Tuan Gustaviano...”, ujar suster tersebut sambil melihat layar komputer di hadapannya. Anisa terdiam hampa menunggunya. Nama yang melegenda dan tak pernah diduganya sebelumnya, bisa mengenalnya.
“VIP 6, Paviliun Anggrek”, ujarnya sambil menatap Anisa. Anisa mengangguk. “Ada di lantai empat. Terima kasih”, lanjutnya lagi. Anisa kembali mengangguk. Kemudian berlalu darinya.
Anisa masih berdiri tanpa ekspresi di depan sebuah pintu di salah satu lorong Rumah Sakit lantai empat.
“Saudari Anisa?”, sapa seseorang. Anisa menatapnya.
“Dokter? Masih ingat saya?”, sambut Anisa sambil tersenyum ramah.
“Baru berapa hari, masak saya harus melupakan pasien saya?”, ujar laki-laki paruh baya berjas putih tersebut. Anisa tersenyum mendengarnya.
“Ke sini lagi? Siapa yang sakit?”, tanya dokter itu ramah. Anisa terdiam sesaat. Namun, kembali ditatapnya wajah dokter itu.
“Saudara, dok”, jawab Anisa singkat.
“Oiya? Dirawat di kamar mana?”, tanya dokter itu lagi.
“VIP 6, Paviliun Anggrek”, jawab Anisa jujur.
“Tuan Gustaviano?”, tebak dokter itu. Anisa terkejut.
“Kamu keluarga dari Tuan Gustaviano?”, tanyanya memastikan. Anisa tersenyum bingung.
“Dokter mengenalnya?”, tanya Anisa lugu.
“Siapa yang tak mengenal beliau? Pengusaha sukses yang berhasil memperkerjakan banyak pengangguran. Dan sifat kedermawanannya, menurun pada keempat putra-putri beliau. Dan tadi pagi, beliau mendapat musibah. Putra sulungnya kecelakaan. Keadaannya kritis. Bahkan, kemungkinan besarnya dia akan mengalami kebutaan akut karen banyaknya pecahan kaca yang merusak kornea matanya. Ini benar-benar cobaan yang sangat besar untuk keluarga sebaik beliau. Tapi, ngomong-ngomong, kamu siapanya?”, dokter itu bertanya kembali. Anisa kembali tersenyum bingung mendengarnya. Tampak dokter itu tersenyum jahil.
“Sudahlah, dok. Saya ke sana dulu”, pamit Anisa terburu. Meninggalkan dokter itu termangu sendiri.
Anisa masih ragu untuk sekedar mengetuk pintu.
Tok....
Anisa ragu untuk meneruskannya.
Tok...tok...tok...
Tapi, tangannya malah semakin mengetuk pintu itu hingga benar-benar berniat datang. Tak lama, seorang wanita paruh baya, muncul dari balik pintu.
“Anisa!”, kejut wanita itu. Lalu memeluk Anisa sambil terisak.
“Terima kasih, Nak. Kamu masih mau datang ke sini. Kami tak seharusnya mengganggumu lagi”, ujar wanita itu dalam peluknya. Dan tentunya Anisa tak mampu menahan air matanya yang ikut mengalir deras.
“Tante... Tante sudah seperti ibu saya sendiri. Tante tak perlu merasa tak enak hati. Seorang ibu tak mungkin merepotkan anaknya. Dan saya sama sekali tidak merasa terganggu. Maafkan saya, Tan...”, sahut Anisa juga dalam peluknya sambil terisak.
“Mari, Nak. Masuk!”, ajak wanita itu sambil melepas pelukannya.
Dan semua kesedihannya tumpah. Tak jauh di depan pandangannya, terlihat sesosok yang terbaring tanpa daya. Banyak sekali selang-selang kimia yang tertancap dalam tubuhnya. Mata itu terpejam rapat menahan semua gejolak hatinya. Andai saja ia mampu berteriak, ingin sekali dia meluapkan semua rasanya dalam teriakan.
“Anisa...”, panggilan lembut itu menyapanya. Meraihnya lalu menuntunnya mendekat ke arah sosok yang tak sadarkan diri itu.
“Kakak akan buta, Sa... Dan aku gak yaqin kalau kakak akan sanggup menerima ini. Aku gak sanggup melihat derita kakak. Dan aku gak tahu, apa yang bisa aku lakukan untuk saat ini”, suara itu mengadu tepat di telinganya. Bahkan, Anisa sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Dengan langkah gemetarnya, ia meraih ranjang itu. Meraba hingga sampai menyentuh selimut yang menutupi sosok itu. Kakinya seperti sudah tak kuat menopangnya lagi.
“Ram... Aku mohon, bangunlah sesaat. Kau tidak ingin mendengar penerimaan maafmu atasku? Apa kau meneyerah hanya sampai di sini? Aku masih menunggu, Ram. Menunggu semua usahamu untuk memulihkan ketidak percayaanku. Kamu menyerah begitu saja, hanya karena aku sudah tak ingin lagi melihatmu? Kamu salah, Ram! Itu semua aku lakukan, karena aku percaya, kamu tak mungkin mundur secepat ini”, Anisa larut dalam isaknya. Disaksikan keluarga besar Gustaviano yang berkumpul di kamar tersebut.
Dan entah bagaimana kesedihan itu terlukis. Ada 4 orang lain yang ikut mengalirkan air mata saat Anisa meratapi Rama. Anisa seolah melupakan hadirnya di tengah keluarga orang asing. Meski Tuan Galuh dan Nyonya Ratih sudah sangat mengenal baik dirinya.
Tanpa ada yang menyadari, seseorang yang duduk di shofa itu, keluar tanpa suara. Seolah tak ingin ada yang mengetahui keberadaannya. Bahkan, langkahnya seperti ada yang mengejar. Begitu gesit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee