“Kamu tunggu di sini dulu. Aku mau coba tanya ke bagian admnistrasi tentang laki-laki yang dimaksud dokter kemaren”, ujar Vani mencegah Anisa yang hendak turun dari ranjangnya. Sore ini, dia diizinkan pulang. Tentu saja Anisa sangat bahagia mendengarnya.
“Ini kan masih jam empat. Jadi, kamu tunggu saja di sini. Nanti, pulang dari sininya pas jam lima, ajah! Sekalian cari makan buat tar malem”, ujar Vani. Anisa tersenyum menanggapinya.
“Kalau makanan, kamu gak mungkin lupa, ya?”, canda Anisa. Vani meringis mendengarnya.
“Sudahlah, nurut saja! Tunggu di sini. Aku cari-cari informasi dulu tentang laki-laki yang sudah nolong kamu”, tukas Vani. Anisa mengangguk setuju. Lalu, tanpa membuang waktu, Vani segera keluar ruangan.
Tinggal Anisa sendiri di kamar itu. Duduk di atas ranjang. Diraihnya tas mini hitamnya yang ia bawa pada malam itu.
Gak ada yang berubah. Semua utuh. Ujar Anisa sendiri dalam hatinya saat melihat isi tasnya. Mengambil sebuah notes mini. Tangannya menuliskan sesuatu. Bibirnya tersenyum mengeja tulisannya sendiri.
“Anisa...”, panggilan itu. Merubah senyumnya menjadi sebuah ketegangan. Anisa tak menoleh mendengarnya.
“Aku baik-baik saja”, ujar Anisa. Ia yaqin, langkah di belakangnya mendekat ke arahnya.
“Jangan sentuh aku!”, tukas Anisa saat meraskan ada sebuah sentuhan lembut di pundaknya. Ia segera menepisnya.
“Sa, aku juga berhak tahu apa yang sudah terjadi padamu”.
“Sudahlah, Ram! Aku tak ingin berdebat denganmu. Jadi tolong, tinggalkan ruangan ini. Atau aku akan panggil dokter”, potong Anisa cepat.
“Ok, Sa! Ok! Aku gak akan memaksa kamu lagi. Tapi, satu hal yang harus selalu kamu tahu. Rasa cintaku tak akan pernah berubah untukmu. Sampai kapanpun itu. Meskipun kamu menilaiku dari sisi yang lain. Dan harus kamu tahu, semua aku lakukan tulus. Bukan untuk mencari keuntungan semata”, tegasnya mantap. Anisa ngeh sekali pada pemilik suara ini. Walau hanya sekedar menoleh.
“Aku hanya berharap, suatu saat nanti, kamu memahami semuanya”, ujarnya lagi dengan suara yang lebih lembut. Anisa tak menyahut. Dan laki-laki itu hanya diam dalam kecewanya. Lalu beranjak meninggalkan Anisa kembali sendiri di ruangan itu.
Dan tak seorangpun tahu, di ambang pintu itu, sebuah rangkaian bunga terjatuh dari genggaman tangan seorang laki-laki yang mendengar seluruh suara dari dalam ruangan yang ditunggunya. Dia segera beranjak tak menghiraukan bunganya yang tergeletak di mulut pintu.
Sedangkan di tempat lain, Vani sedang menunggu seorang petugas administrasi yang mencari sebuah berkas.
“Orang baru dua hari kemaren kok, Sus?”, ujar Vani.
“Korban kecelakaan ini di sini terdaftar dengan nama pasien sendiri, Anisa Rahma. Dan penyelesaian administrasi juga diatasnamakan Anisa Rahma. Tidak ada tanda pengenal laki-laki dalam pasien dengan nama Anisa Rahma. Mbak sudah mencoba bertanya di bagian receptionist?”, tanya suster itu ramah.
“Daftarnya juga pakai nama teman saya yang kecelakaan, Sus. Aneh deh! Kira-kira, di bagian mana lagi saya bisa mendapatkan informasi tentang pengunjung rumah sakit ini?”, tanya Vani yang tampak sedikit putus asa.
“Coba di bagian laboratorium. Yang bersangkutan melakukan test darah saat hendak transfusi, bukan?”, sarannya
“Iya, Sus. Semoga saja. Ada data tentangnya”, harap Vani.
“Ya, sudah. Terima kasih, Sus”, ujar Vani sambil meninggalkan meja administrasi. Langkahnya terburu menuju laboratorium yang berada tak jauh dari kamar Anisa dirawat. Karena berlarian tergesa, Vani hampir saja menubruk seseorang yang juga sedang berjalan tergesa.
“Maaf”, ujar pemuda itu singkat lalu segera melanjutkan jalannya. Vani menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Aku yang nabrak, dia yang minta maaf!”, gerutunya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Vani kembali bergegas menuju ruang laboratorium. Tepat di depan pintu, Vani bertemu dengan dokter yang menangani Anisa. Vani menyapanya.
“Katanya pulang sore ini?”, tanya dokter itu ramah. Vani tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lagi.
“Masih cari informasi tentang laki-laki yang dokter ceritakan. Saya sudah ke bagian receptionist dan administrasi, tapi, semuanya tertulis data teman saya. Bukan datanya”, ungkap Vani dengan wajah lugu.
“Dia baru saja dari sini. Bukannya tadi kalian bertemu di ujung koridor itu?”, ujar dokter itu sambil menunjuk ujung koridor tepat saat tadi dia hampir menubruk seorang laki-laki.
“Jadi?”, Vani terlihat sangat oon sambil memukul jidatnya keras-keras. Doter itu tersenyum melihat ulah Vani.
“Dia ke sini ngapain, dok?”, tanya Vani.
“Tadi, dia mengambil data-data transfusi kemaren di laboratorium. Buat kenang-kenangan katanya. Dan tentunya pihak rumah sakit memberikannya”, jawab dokter itu.
“Ngambil data? Huft! Jadi, sudah gak ada data tentang dia sama sekali dong?”, celetuk Vani dengan penuh kekecewaannya.
“Kalu jodoh, gak kemana”, canda dokter itu. Vani melongo mendengarnya. Tak menyadari dokter itu melewatinya begitu saja.
Dengan sangat malas, Vani kembali menuju ruangan Anisa.
“Pokoknya sia-sia semua! Aku udah ke bagian receptionist, gak ada. Bagian administrasi, juga gak ada. Jalan terkahir, di laboratorium, juga gak ada. Tapi, katanya, dia habis di mari. Baru saja ngambil datanya di laboratorium. Parahnya, aku sempat hampir nabrak dia, tapi aku gak nyadar. Ini namanya, aku bego’, atau emang kurang cepet?”, Vani berkoar-koar saat masuk dalam ruangan. Anisa hanya memandanginya penuh tanda tanya.
“Betul kali ya, kata si dokter itu. Belum jodohnya. Kalau jodoh juga gak kemana. Heheh...”, lanjutnya lagi. Anisa masih memandangnya heran.
“Kamu tuh ngomong apa sih, Van? Dateng-dateng ngomong gak jelas gitu. Emang siapa yang habis dari sini? Kamu tuh, nabrak siapa?”, tanya Anisa menanggapi parkataan Vani.
“Huuuhh, Anisa! Aku udah dong-dong. Ternyata, kamu lebih dong-dong lagi. Yang dari sini tuh, ya cowok yang sudah nolongin kamu. Aku udah hampir nabrak dia, tapi aku gak nyadar. Dan dokter yang nanganin kamu bilang, dia baru saja ngambil data-data tentang transfusi kemaren di laboratorium. Padahal, itu alternatif terakhir untuk tahu siapa sebenarnya laki-laki itu”, jelas Vani dengan panjang lebar. Anisa menagngguk-angguk mengerti.
“Ya, sudah. Mau diapain lagi?”, komen Anisa singkat.
“Ayo, pulang! Aku sudah kangen sama kamar kita”, ujar Anisa. Vani melengos kecewa. Lalu mendekat ke arah Anisa dengan lemas.
“Gak usah! Udah bisa jalan sendiri. Daripada dituntun kamu, ntar jatuh”, tolak Anisa halus saat Vani hendak memapahnya. Vani tersenyum mendengarnya.
Keduanya berjalan beriringan keluar ruangan. Anisa sudah jauh lebih baik walau kepalanya masih berbalut perban. Jalannyapun sedikit pelan, karena sisa-sisa pusing yang masih melekat di kepalanya. Vani menyamakan langkahnya menanti Anisa.
“Kamu tunggu di sini dulu! Aku panggil taksi”, ujar Vani saat keduaya tiba di lobi rumah sakit. Jam di belakang meja receptionist menunjuk pukul lima kurang sepuluh menit.
“Kelihatannya, perempuan itu sangat menginginkan bisa bertemu dengan anda. Dia ingin sekali mengucapkan terima kasihnya karena anda sudah menyelamatkan nyawanya”, suara itu tak sengaja mampir dalam indra pendengaran Anisa. Anisa mengacuhkannya. Pamali, nguping pembicaraan orang lain. Nasihat hatinya sendiri.
Tak sampai sepuluh menit Anisa menunggu, Vani sudah datang dengan wajah lugu dan polosnya.
“Taksi sudah menanti, Tuan Putri”, ujarnya dengan senyum yang mengembang penuh ketulusan. Anisa tersenyum menanggapinya. Lalu berdiri dari duduknya, mengikuti langkah Vani.
Tepat di depan pintu keluar gedung, sebuah taksi sudah menanti dan sopirnya telah siap membukakan pintu taksi.
“Kamu pengennya makan apa, Sa?”, tawar Vani.
“Tumben!”, tanggap Anisa dengan wajah jahil pada Vani.
“Kalu gak mau sih, ya gak pa-pa. Tau sendiri, aku jarang-jarang kayak gini!”, sahut Vani sambil memonyongkan bibirnya. Anisa tersenyum mendengarnya. Melihat ekspresi lugu sahabatnya.
“Gimana, kalau aku saja yang beli makanan? Itung-itung, bayar jagung bakar yang batal aku janjikan malam lusa”, ujar Anisa mencoba menghibur temannya. Vani menoleh dengan wajah murungnya.
“Justru harusnya aku yang bayar hutang, Sa. Cuma gara-gara beli makanan buat aku, kamu jadi kayak gini”.
“Van...musibah itu datang dengan sendirinya. Tak ada yang memintanya. Sudahlah! Gak perlu ngerasa segitunya”, sahut Anisa cepat. Vani tersenyum mendengarnya. Anisa memeluknya.
“Kamu mau sangat peduli sama aku, itu sudah lebih dari cukup buat aku”, ujar Anisa dalam peluknya. Vani membalas pelukannya semakin erat.
“O iya! Sekarang, giliran kamu cerita. Sebenarnya, malam itu kamu ngilang kemana, sih? Pamitnya, ikut reuni teman-teman SMA. Aku susulin ke tempat yang kamu maksud, kata temen-temen kamu, kamu gak datang. Cuma mampir doang. Dimana? Kenapa? Ada apa? Pakek acara ga ngasih kabar lagi!”, ujar Vani sambil melepas pelukan Anisa perlahan. Anisa tercenung sesaat mendengar sederet pertanyaan Vani.
“Sa... Are you fine?”, panggil Vani saat melihat Anisa melamun.
“Sa...”, panggil ulang Vani saat Anisa tak menyahut panggilannya.
“Oh... Nanti saja ceritanya. Gak enak kalau cerita di sini. Sekalian mengenang masa lalu gitu deh!”, jawab Anisa dengan senyum yang sengaja dia berikan. Dan Vani tahu itu. Namun, ia membalas senyum ‘terpaksa’ sahabatnya itu. Dan Anisa sedikit bernafas lega.
Selasa, 13 September 2016
#4
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee