“Anisa Rahma, korban kecelakaan semalam, mbak?”, perempuan itu tampak khawatir di meja receptionist menunggu pegawai menyebutkan kamar yang dimaksud.
“Maaf. Anda mengenal Anisa Rahma?”, sapa seorang laki-laki yang tak dikenalnya dari sampingnya. Perempuan itu mengangguk cepat.
“Saya yang sudah menabraknya. Silahkan ikut saya!”, ujar lak-laki itu tegas. Dan perempuan itu sempat terbengong saat mendengar ucapannya. Namun, ia segera mengikuti langkah tegap laki-laki yang sudah berjalan mendahuluinya.
“Anisa!”, pekiknya tak percaya melihat keadaan sahabatnya yang masih tergolek tak sadarkan diri.
“Dia belum sadarkan diri sejak semalam. Saya berharap, dia bisa secepatnya sadar saat anda datang”, ujar laki-laki yang mengantarnya tadi. Ia berdiri tak jauh dibelakang perempuan itu, Vani.
“Ini barang-barang yang ada di sekitarnya saat kejadian. Untuk semua administrasi rumah sakit, sudah saya tanggung. Jika dia sadar nanti, sampaikan salam maaf saya. Saya harus segera pamit”, ujarnya panjang lebar. Vani yang masih larut dalam kesedihannya hanya mengangguk tak menolehnya sama sekali. Tak menyadari bahwa laki-laki itu masih berdiri sejenak menunggu tolehannya sekedar tersenyum dan mengangguk. Namun, dia hanya mendapati isak Vani yang semakin terdengar.
“Van...”, panggilan itu membuat Vani berhenti sejenak dari isaknya.
“Anisa...syukurlah kamu sudah sadar!”, sahut Vani sambil menatap sahabatnya yang masih berusaha membuka mata lebih lebar.
“Ada apa denganku? Aku dimana?”, tanya Anisa sendiri.
“Aduh!”, keluh Anisa sambil memegang kepalanya saat dia berusaha bangkit dari tidurnya.
“Anisa... Jangan banyak gerak dulu! Kamu baru saja sadar dan keadaanmu pasti masih sangat lemah”, sahut Vani sambil membantu Anisa kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi nyaman.
“Apa yang terjadi sama aku, Van?”, tanya Anisa saat dia sudah kembali dengan posisi terbaring di samping Vani.
“Semalam kamu kecelakaan di tabrak mobil. Dan untungnya, tuh orang tanggung jawab. Dia nganterin kamu ke sini. Trus, tadi pagi-pagi buta, ngabarin aku. Trus, sekarang...Aduh!”, tiba-tiba saja Vani memukul jidatnya. Anisa masih memandangi sahabatnya penuh tanda tanya. Menunggu kisah yang sebenarnya terjadi dengannya.
“Orangnya udah cabut. Aku lupa bilang terima kasih. Lupa tanya nama. Bego’nya lagi, aku lupa sama wajahnya. Soalnya, tadi ketemu di lobi. Aduuh!! Bego’ banget ya, aku”, keluh Vani sendiri. Anisa tersenyum mendengarnya.
“Gak kaget!”, tanggap Anisa lemas.
“Tapi, Sa! Sumpah, tuh cowok keren banget. Cara ngomong dan gayanya kayak bijaksana dan tanggung jawab banget. Kalau saja tadi di kepalaku gak dipenuhin sama kamu, kamu dan kamu, pasti aku sudah ngajakin dia kenalan dulu”, tukas Vani seolah lupa dengan aliran air mata yang masih tersisa di pipinya. Lagi-lagi, Anisa tersenyum.
“Hebatnya lagi, semua biaya rumah sakit sudah dia tanggung. Keren banget ga sih?”, ujar Vani dengan gaya lebaynya. “Trus lagi, dia sempat nyelametin barang-barang kamu saat kejadian. Tapi, gak sama jagung bakarnya”. Kali ini, Anisa tersenyum lebih lebar mendengarnya. Dilihatnya raut wajah Vani yang berubah. Anisa menatapnya dalam.
“Maafin aku ya, Sa! Cuma karena beliin aku jagung, kamu jadi kayak gini”, ujar Vani dengan suara yang melemah. Anisa tersenyum mendengarnya. Melihat betapa tulusnya sahabatnya tersebut.
“Kepedean banget sih!”, tanggap Anisa singkat. Vani melotot mendengarnya. Anisa tersenyum menanggapinya.
“Hhh! Aku udah berusaha serius, tapi kamu masih ngajakin aku bercanda”, Vani melengos kesal.
“Selamat pagi...”, tiba-tiba seorang dokter masuk dan menyapa. Vani menoleh menyambut seorang dokter paruh baya bersama seorang suster di belakangnya.
“Lho, yang laki-lakinya kemaren mana?”, tanya dokter itu ramah sambil mengeluarkan stetoskop dari saku jas putihnya. Lalu, memeriksa Anisa.
“Dia yang menabrak teman saya ini, dok. Tadi pagi sudah pamit”, jawab Vani.
“Jarang lho, ada pemuda yang mau bertanggung jawab dalam kasus kecelakaan lalu lintas seperti ini. Semalam, malah saya mengira dia saudara pasien. Lebih-lebih, golongan darahnya sama dengan pasien. Padahal, golongan darah pasien sangat langka”, ujar dokter itu sambil sibuk memeriksa Anisa.
“Kok pakek golongan darah segala, dok?”, tanay Vani cepat.
“Iya. Pasien kehilangan banyak darah. Untunglah, mendapatkan donor di saat yang tepat. Padahal, persediaan darah pasien di rumah sakit sedang kosong. Waktu itu, saya sedikit berkecil hati. Tapi, pemuda itu ternyata memiliki golongan darah yang sama persis dengan golongan darah pasien. Sebuah keajaiban”, cerita dokter itu panjang lebar. Vani melongo tak percaya mendengarnya. Anisa juga ikut menyimaknya.
“Bener kayak gitu ceritanya, dok? Waduh, nyesel jadinya saya, dok!”, tanggap Vani dengan gaya lebaynya.
“Lho, kenapa?”, dokter itu menanggapi.
“Tadi, dia pamit, saya gak sempet tanya siapa namanya. Gara-gara mikirin keadaan si dia ni, dok”, jawab Vani sambil menunjuk-nunjuk Anisa. Dokter itu tersenyum melihat gaya Vani.
“Coba tanya bagian receptionist atau administrasi. Pasti mempunyai data lengkap pengunjung rumah sakit”, saran dokter itu dengan lembut.
“O iya, keadaan pasien sudah stabil dan sangat baik. Hanya saja, masih belum boleh melakukan banyak aktifitas dan kecapekan. Kalu merasakan pusing, itu akibat benturan yang keras. Tapi, tidak ada dampak negatif. Cuma semalam itu, yang banyak kehilangan darah”, tukas dokter itu setelah suster menunjukkan sebuah leporan dalam map yang dibawanya.
“Kira-kira, bisa langsung dibawa pulang?”, tanya Vani segera.
“Dilihat keadaanya yang sudah normal, sudah bisa. Tapi, saya sarankan untuk tinggal sejenak di rumah sakit. Supaya mendapatkan perawatan intensif. Yah, kira-kira sampai besok, saya kira sudah cukup”, jawab dokter itu panjang lebar. Vani mengangguk mengerti.
“Baiklah, kami pamit dulu. Semoga cepat pulih dan kembali beraktifitas”, pamit dokter itu sambil berjalan ke arah luar ruangan.
“Terima kasih banyak, dok”, sahut Vani membalas senyuman ramah sang dokter bersama susternya.
“Aku sudah berhutang nyawa sama laki-laki itu, Van. Kamu dengar sendiri penjelasan dokter tadi, bukan?”, ujar Anisa sepeninggal dokter itu.
“Hu’um, Sa. Kalau inga-ingat tadi, sumpah, nyesel banget aku! Tapi, jangan khawatir. Aku pasti bantu nemuin tuh orang”, tukas Vani.
Siapa dia? Ah, siapapun dia, aku akan mengucapkan banyak terima kasih. Biarlah angin yang menyampaikannya. Aku yaqin, dia adalah orang baik dan tulus menolongku. Semoga, dia masih akan mengingatku. Doanya lirih dalam hatinya. Tak izinkan siapapun mendengarnya.
Minggu, 11 September 2016
#3
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee