Malam membelai pekatnya dengan begitu tenang. Menghadirkan kesunyian berselimutkan dingin yang menyatu bersama bisik bayu dalam helai dedaunan. Di atas singgasana langit, prajurit bintang bertabur indah seolah siap berperang dengan gelap malam. Dengan pimpinan oleh Sang Ratu Bulan, mereka siap Malam membelai pekatnya dengan begitu tenang.
“Anisa...”, panggilan itu terdengar begitu pelan. Terlebih dengan beriringkan debur laut pasang menjelang jam delapan malam.
“Aku ingin sendiri...”, sahut perempuan yang tampak sedang duduk santai di atas bebatuan pantai. Bahkan, sosoknya menyahut tanpa menoleh sumber suara.
“Mau sampai kapan kamu terus memperlakukanku seperti ini? Aku tahu, aku salah. Tapi, aku sudah berulang kali mencoba meminta maaf padamu dan kamu tak pernah mau mendengarkannya. Apa begitu besar kesalahan yang sudah kubuat?”, suaranya mengeras berharap sosok bernama Anisa, yang memunggunginya, mau menatapnya.
“Jauh sebelum kamu minta maaf, aku telah melupakan kesalahanmu. Aku sudah dengan sangat mudah memaafkanmu. Jadi, tak perlu lagi kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan padaku”, sahut Anisa yang masih keukeuh tak menoleh laki-laki di belakangnya.
“Lalu, mengapa kamu masih memperlakukanku seolah kamu tak pernah bisa memaafkanku?”, sanggah laki-laki itu cepat.
Angin berhembus dengan sombongnya. Seolah dia bisa mengoyak pemilik hati yang sedang berseteru di hadapannya. Menghentakkan kedinginannya yang berpadu dengan debur ombak memasang di setiap menitnya. Meniadakan hadir bulan dan bintang yang sangat mendamaikan jiwa.
Hening.
“Sudahlah, Ram! Aku hanya ingin sendiri. Nyahlah!”, sahut Anisa pada akhirnya. Dan laki-laki itu, Rama, hanya bisa mengehembuskan nafas besarnya. Kecewa, marah, kesal dan entah apa yang hanya dia sendiri yang tahu. Dengan berat, diputarnya tubuhnya 180 derajat , berjalan beranjak meninggalkan Anisa seorang diri bersama malam pantai.
Satu langkah. Dua langkah. Ia berhenti sejenak. Kembali menoleh ke arah Anisa duduk. Mengaharapkannya menoleh. Dan, nihil. Di tempatnya, Anisa justru semakin tertunduk seolah sangat menikmati malam berselimutkan dingin angin pantai. Rama lagi-lagi menghembuskan nafas besarnya, penuh rasa kecewa.
Dan tak ada seorangpun yang tahu aliran air mata itu. Melesat di antara gelap yang hanya pemiliknya yang tahu. Terus dan terus. Mengalir tak hiraukan sapaan air laut di kakinya yang sedikit membasahi rok panjangnya. Melepas sesak yang memenuhi dadanya. Dan bayu pun tunduk. Mereka bak pendengar setia yang mampu memahami curahan hati melalui tangis.
'Kamu tak pernah tahu, semua rasa cintaku yang membuat aku tak ingin lagi dicintai olehmu. Karena kamu yang terlalu mencintaiku. Maafkan aku yang harus merelakanmu'.
Hati itu menjerit. Tapi, sayang. Mulutnya tertutup rapat menahan isak tersebut. Luka itu pasti sangat dalam. Mungkin, tak ada seorang yang tahu tentang itu. Dan mungkin lagi, ia selalu mendustai hatinya di depan orang-orang sekitarnya. Hanya dia yang bisa menjawabnya.
Dalam kesyahduannya, tiba-tiba saja ponselnya beredering. Dilihatnya layar ponselnya. ‘Best friend’ memanggilnya.
“Sumpe de, Anisa! Kamu tuh, tiba-tiba ngilang kayak hantu, tau! Aku sibuk nyariin kamu dari jam 5. Bilangnya ada reuni, di jemput, malah katanya gak ngikut. Kamu tuh, aneh! Jarang-jarang deh, kamu boong kayak gini”, suara di seberang mencerca tanpa pembukaan. Anisa tersenyum menggeleng-geleng sendiri mendengarnya.
“Vani, stop!”, potong Anisa cepat.
“Siapa yang nyuruh kamu ceramahin aku. Telpon gak pakek salam, langsung nyerocos ajah! Ya, kalau aku sendiri yang ngangkat. Kalau tadi yang ngangkat orang lain? Kamu tuh, udah bener-bener kayak ibuku sendiri aja! Sukanya nasehatin aku, ngatur-ngatur aku”, sergap Anisa dengan suara yang tak kalah tegasnya dengan suara seberang.
“Ya...terserah apa katamu! Yang penting, kamu harus tahu. Sekarang sudah jam 9 malam. Kamu harus cepat pulang. Aku kesepian di kamar!”, tanggap suara seberang seperti nada cemberut, kesal.
“Ok, ok! Aku pulang, baby...”, ujar Anisa lembut.
“Gak pakek lama”, sahut suara seberang cepat. Anisa tersenyum mendengarnya. “Eits, aku laper. Bawa sesuatu ya...”.
Nut, nut, nut... Anisa mengeleng-geleng sendiri. Sesaat, dukanya seperti berhamburan di terpa bayu yang ingin membalaskan dendam tunduknya pada sebuah tangis. Anisa berdiri dari duduk panjangnya sejak dua jam yang lalu.
Anisa tak menghiraukan roknya yang sudah basah sampai lututnya. Ia berjalan meninggalkan pantai yang sudah sangat begitu akrab dengannya. Taksi sudah siap di hadapan Anisa. Tapi, Anisa tak langsung memasukinya. Dia berniat membeli jagung bakar yang ada di seberang jalan. Supir taksi itu mengangguk tak keberatan untuk sekedar menunggu.
Jalanan malam itu begitu ramai. Dan pembeli di warung jagung bakar itu lumayan banyak. Membuat Anisa harus rela menunggu. Sambil menunggu jagungnya masak, Anisa iseng berkabar pada ‘Best Friend’nya.
Aku lagi ngantriin jagung bakar buat kamh. Sumpah! Pembelinya banyak banget.
Message sent. Anisa tersenyum sendiri.
Humb...so sweet!! Tp lgsung pulg yah....
Anisa lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
Kalau emang ga pulng??
Satu menit. Tiga menit. Lima menit. Tak ada balasan yang di terima Anisa. Jagung pesanan Anisa sudah selesai. Sebelum benar-benar beranjak dari warung jagung bakar itu, Anisa memandangi ponselnya kembali. Memastikan tak ada pesan balasan yang diterimanya.
Malam yang benar-benar ramai. Bahkan, aspal seperti tertutup oleh lalu lalang yang melintas di atasnya. Dan entahlah, apa yang ada di kepala Anisa saat dia berjalan menyebrangi jalan.
TIIIIIN....CIIIIIIT....BRUAK!!
Seketika, keramaian itu berpusat pada satu titik. Seorang perempuan tergeletak di tengah jalan bersimbah darah. Pemilik mobil berwarna hitam itu segera keluar dari kemudinya. malam yang tampak begitu hening itu.
Senin, 05 September 2016
#1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee