Senin, 18 Juli 2016

Mambaus Sholihin

Bismillaahirrohmaanirrohiim...
Tulisan ini sudah lama ingin saya bagikan ketika kenangan saya tak bisa lepas sekali pun tentang tempat yang sembilan tahun begitu akrab dan ramah menerima saya. Tempat yang sudah entah baru berapa kalai saya kunjungi sejak saya berpindah lima tahun lalu. Tempat yang banyak mengajarkan saya pelajaran tanpa hitungan, pembelajaran yang tak akan didapat di bangku sekolah. Tempat yang hanya empat tahun, telah merubah saya menjadi seperti ini, keluar dari hal-hal buruk yang saya lakukan sebelumnya. Sebuah tanah dimana didalamnya, saya menjumpai sosok Kyai kharismatik yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menghidupkan pesantren, ilmu keagamaan serta kebahagian ukhrowi. Saya merasa yaqin bahwa ruhiyyah kami (saya dan Romo Yai) selalu sambung sebagaimana guru dengan santrinya. Sekali pun tidak dikenal lisan, cukup bagi saya untuk bersambung melalui untaian alfaatihah. Beliau yang selalu mendoakan santrinya hingga tak satu pun dari santrinya melupakan tanah Mambaus Sholihin.
Baiklah!!
Akan saya ingat bagaimana saya menyambangi Mambaus Sholihin (Rabu, 13 Juli 2016) setelah terakhir kalinya hampir tiga tahun lalu saya berkunjung. Kunjungan yang sudah lama berselang dengan pergantian status saya. Untuk mendapatkan izin bisa melancong ke Suci, Manyar, izin pertama yang harus saya perjuangkan adalah pada suami, baru setelahnya pada ibu. Tentu saja harus diperjuangkan karena saya izinnya menggunakan kendaraan beroda dua. Perempuan bersepeda Tuban-Gresik, tentu saja butuh pertimbangan. Dan, Alhamdulillaah, izin didapat.
Namun, ada hal lain yang mendasari mengapa saya begitu ingin mengunjungi Mambaus Sholihin.
Ramadhan ini, saya seringkali dihantui mimpi. Meskipun dalam mimpi itu ada Romo Kyai, tetap saja saya harus mengatakan bahwa saya dihantui oleh mimpi tersebut. Pasalnya, dalam mimpi itu, saya melihat Romo Kyai sedang melaksanakan shalat dan berdiri sebagai imam untuk banyak jamaah. Tempat yang cukup familiar meskipun itu bukanlah masjid atau mushala. Jamaah yang sebgian besar laki-laki, membuat saya bertanya-tanya, sedang dimanakah shalat berjamaah tersebut dilaksanakan??
Rupa-rupanya, itu shalat jenazah. Saya menyadarinya ketika jamaah itu hanya melakukan gerakan takbir. Saya semakin penasaran dengan jenazah yang begitu istimewanya hingga dishalatkan oleh Romo Kyai.
Hhh!! Itu jenazah saya. Iya, saya!! Saya baru tersadar ketika tak seorang pun menyadari bahwa saya berjalan dengan begitu santainya melewati jamaah. Kaget, tak percaya, dan sedih. Tidak ada bahagia sedikit pun meski telah melihat wajah Romo Kyai secara langsung dan begitu dekat. Bagaimana bisa saya sudah mati sedangkan saya melihat jenazah saya sendiri??
Ketika terbangun, dan setelah shalat, saya merutuk diri sendiri. Apakh alfaatihah yang saya sampaiakn untuk Abah Kyai tak sampai hingga harus dipertemukan dalam mimpi dengan keadaan yang sedemikian mengerikan?? Mampukah saya menerima kenyataan tersebut andaikata esok mimpi itu akan benar-benar menjadi kenyataan??
Itu merupakan hal besar yang mendasari kenekatan saya untuk berangkat dan bertemu secara langsung dengan Abah Kyai Masbuhien Faqiih.
Perjalanan yang tak begitu mudah untuk bisa sampai, membuat saya agak sedikit takut. Terlebih, ketika mengetahui bahwa Romo Kyai tindak'an. Meski hati kecil saya terus saja menenangkan bahwa pasti akan ada jalan untuk bisa bermuwajjahah dengan Romi Kyai. Empat jam menunggu, membuat saya mengambil banyak hikmah hingga akhirnya bisa menjumpai beliau dengan senyum mengembang dan mengetahui bahwa beliau benar-benar sehat.
Pertama...
Segenting apapun keadaan yang sudah menjepit dan memaksa untuk menyerah, yaqinlah, ketika ridho suami (bagi yang bersuami) dan restu ibu sudah dibawa, pasti akan menemui tujuan yang dicari. Iya!! Saya terus saja terbayang ketika izin keukeuh untuk berangkat meski pada awalnya suami begitu berat.
Kedua...
Sembari munggu, betapa baiknya melakukan hal-hal bermanfaat. Waktu itu, sembari menanti Romo Kyai rawuh, meskipun belum tahu kapan beliau rawuh, saya bersma keenam teman lainnya bershilaturrahiim ke rumah asatidz yang berdomisili di Suci. Dan itu benar-benar barokah, karena beliau (asatidz) memberikan pencerahan yang tentunya tak kami dapatkan di luar sunia pesantren. *Sambil mengoceh 'begitupula dalam hidup. Selagi menunggu jodoh (menikah), rizki (anak), dan mati, sebaiknya melakukan hal-hal bermanfaat. Tak perlu berfikir orang lain, cukup nasihati diri sendiri'.
Ketiga...
Setiap hubungan, harus kita hargai. Tak peduli orang yang belum kita kenal, ataupun salah satunya mengetahui dan lainnya tidak, selagi masih sama muslim yang memiliki pegangan yang sma, semua masihlah bersaudara. Kita tak punya hak untuk membandingkan antara insividu satu dengan individu lainnya.
Keempat...
Melihat Romo Kyai yang menjumpai kami berenam, membuat saya banyak berfikir. Beliau baru saja rawuh dan tanpa berfikir untuk istirahat sejenak, beliau sudah menemui tamu-tamu yang menunggu. Intinya, muliakan tamu. Kita tak pernah tahu, mungkin saja diantara sekian tamu ada yang memiliki keutamaan lebih daripada kita, sehingga dengan memulyakannya, kita akan memdapat barokah. Mungkin, hal tersebut yang menjadikan Mambaus Sholihin dipenuhi dengan doa keberkahan sebab Romo Kyai yang begitu ta'zhiman lidhdhuyuuf.
Alhamdulillaah, tsumma alhamdulillaah...

Catatan sejak rabu yang baru kesampaian dibagikan hari ini, bersama rintik hujan.
#Tuban18Juli2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee