Kamis, 17 Desember 2015

Zaaduzzuwaaj

Bismillaahirrohmaanirrohiim...
(*analisis judul yang "sok" pinter, bijak, tua dan pengalaman)
Bicara pernikahan, masih tampak majemuk jika tidak dibedah satu persatu. Ada banyak hal terkait dengan pernikahan terlepas apakah itu berupa pemikiran atau praktek langsungnya.
Menikah, bukan hanya perkara mempertemukan dua insan dalam satu ikatan perjanjian agung dan halal saja. Menikah adalah komponen dua keluarga yang bertemu untuk menyelaraskan budaya, adat serta pemikiran. Bukan saling memenangkan ego yang diusung dari pihak masing-masing. Jadi, jika hanya berfikir tentang dua orang saja, maka pernikahan akan mudah dilaksanakan tanpa tedeng aling-aling serangkaian embel-embel yang mengikuti pernikahan.
Menikah, bukan hanya ungkapan perasaan yang berdurasi. Di dalamnya, ada tuntutan untuk bertanggung jawab, berkomitmen dan memprioritaskan pernikahan. Setiap masalah yang muncul, tidak lantas diselesaikan dengan "putus" atau kabur pada jalan masing-masing. Harus ada ego yang merendah untuk mempertahankan perjanjian berbentuk pernikahan tersebut. Di dalamnya tidak ada istilah "aku mau ini, kamu harus begitu", harus bergeser dengan "kita begini dan begitu".
Menikah, bukan bicara tentang perjalanan cinta yang berakhir bahagia. Persepsi ini harus diubah sedini mungkin. Pernikahan bukan dibangun atas cinta tapi cintalah yang dibangun diatas pernikahan. Logikanya, menikahlah dulu maka akan tumbuh cinta. Bukan cinta dulu kemudian menikah. Tapi, hal seperti ini tabu bagi sebagian besar masyarakat. Mereka enggan menuju dunia pernikahan jika belum tumbuh cinta. Betul??
Menikah, bukan melulu sebuah kebahagiaan. Ingat! Yang masih memiliki tujuan untuk bahagia ketika menikah, maka perbaharuilah niat tersebut. Menikahlah, bukan untuk bahagia. Tapi untuk ibadah. Ibadah yang semakin menjadikan pribadi masing-masing jauh lebih baik dan lebih dekat pada Sang Pemberi Kehidupan. Jika sudah menemukan hakikat ibadah, maka bahagia akan hadir dengan sendirinya. Jadi, jika ingin menemukan kebahagiaan dalam pernikahan, maka salah besar. Sekali lagi, menikahlah untuk ibadah kemudian bahagia akan menyertai.
Itu hasil pemikiran pribadi saya. Berani menulis seperti ini bukan lantas saya sudah sesempurna bak penutur tanpa cacat. Sekadar berbagi manfaat tentang seminar yang saya ikuti, terkait dengan pernikahan. Kebetulan, dalam event tersebut, saya ambil bagian meski hanya menjadi bagian kecil yang kemungkinan besarnya tidak akan diingat oleh siapapun. Kalimat-kalimat beliau (mentor dalam seminar yang namanya saya rahasiakan sementara), saya rangkum dengan bahsa saya sendiri. Semoga, setiap penjelasannya memberikan manfaat.
Menikah itu tidak sesederhana "aku jadi imam dan kau ma'mumnya". Ada pembelajaran yang harus terus diperbaharui. Memahami! Tidak mudah untuk belajar ini. Mula-mula, mungkin belajar memahami kesehariannya, bangun jam berapa, berangkat kerja bagaimana dan lainnya. Tidak cukup pada kesehariannya saja, pada sikap, watak, kebiasaan dan lain sebagainya. Pemahan tersebut harus terus ada dan butuh pembelajaran untuk setiap prosesnya. Penerimaan! Jadi, memahami saja tidak cukup. Harus dilengkapi dengan menerima. Tidak seorangpun terlahir tanpa kekurangan. Kita mungkin punya mata untuk melihat kekurangan orang lain, namun, mereka juga punya mata untuk melihat kekurangan kita.
Jadi, prinsip utama pernikahan adalah memahami dan menerima. Perkara memberi dan menerima, itu jika sudah saling memahami, apa yang seharusnya diberikan apa yang seharusnya diterima.
Sebelum menikah, yang dipersiapkan bukan hanya bekal duniawinya saja. Bathin dan ruhaninya ditata. Meski sejatinya, setiap harinya dalam dunia pernikahan, bathin harus senantiasa dipersiapkan. Terlebih mereka yang merasakan dunia pernikahan murni sebagai kejutan dari Allah. Mengapa begitu? Karena mereka yang terbiasa dengan cinta sebelum pernikahan, tidak menemukan nikmat cinta dalam pernikahan. Dan ketika kalimat ini terlontar, yang ada adalah kontra lebih dari sembilan puluh persen. 
Ibarat kata, Tuhan punya dua cara untuk menghantar nikmat-Nya. Diberikan sambil mengecup ubun-ubun kita sembari berkata, "ini kejutan yang aku siapkan untukmu. Nikmatilah dan berbahagialah" atau melemparkannya pas ke muka kita dan penuh amarah berteriak "bukankah itu yang kau inginkan?". Untuk mencernanya, mari sejenak menarik nafas dalam-dalam.
Ketika mendapati seorang pengamen dengan suara merdu, kita akan terbuai dan bahkan membiarkannya berlama-lama memamerkan suaranya. Berbeda dengan jika kita mendengar seorang pengamen dengan suara tak karuan. Yang ada, kita akan segera mengusirnya atau segera memberikan uang supaya ia bergegas pergi. Itu pembelajaran penting penuh hikmah. Bayangkan jika kita terus meminta (dalam hal ini, mengadu pasa jodoh) pada Allah, dalam penantianan penuh perbaikan diri, berdoa dalam ketawadhuan dan menangis di setiap munajat namun hajat dan keinginan tidak juga segera terkabul, mungkin, jawabannya seperti opsi pengamen pertama. Allah tengah memanjakan samii'-Nya dengan permintaan kita. Teruslah meminta. Jangan berkecil hati. Kejutan itu akan hadir tept pada waktunya. Jangan sekali-kali membandingkan diri dengan mereka yang begitu mudahnya menerima apa yang mereka inginkan padahal mereka mungkin tak sekalipun pada posisi dekat dengan tuhan mereka. Barangkali sebagaimana opsi pengamen kedua. Allah sengaja menyegerakan keinginan mereka karena Allah sudah tak ingin lagi menerimanya. 
Sekalipun semua sudah menjadi hak Allah untuk menentukan bagaimana kehidupan manusia, maka, sudah sepatutnya sebagai manusia, kita harusnya berkewajiban untuk berikhtiar. 
*tulisan ini bersambung pada zaad selanjutnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee