Rabu, 22 Mei 2019

Menimbun Trauma di Goa Kreo #DolanSemarang part 5

~~~
Masih di Semarang, Goa Kreo
Sabtu, 22 April 2019
~~~


Sebenarnya udah capek sih, tapi ya, kapan lagi main-main Semarang. Diterjang aja deh, capeknya. Dan kunjungan berlanjut ke Goa Kreo yang jaraknya cukup jauh dari Lawang Sewu, tempat sebelumnya. Naik grab car, ada sejam lebih. Pokoknya, selama perjalanan cukup dibuat istirahat.

Dari luar, tempat wisata ini nggak ada menarik-menariknya. Orang cuma danau (yang entah asli atau buatan) dan ada jembatan yang katanya di seberangnya barulah ada Goa yang dimaksud. Tapi, saat kami turun mobil, pasukan monyet sudah menyambut. Oh, my lord!

Jadilah kami seperti kembar siam, jalan bertiga rapet banget kayak gabisa lepas gitu. Lucunya, kami juga nggak berani menenteng apapun, termasuk ponsel. Karena pasukan monyetnya segambreng. Jangan heran kalau selama di sini minim foto. Apalagi si Dina, dia sudah ada kenangan menakutkan tersendiri tentang monyet. Jadilah dia paling heboh.

Memang benar, setelah lewat jembatan dan jalanan sedikit menanjak, akan dijumpai doa yang dimaksud. Dan, jangan dikata. Monyetnya bukan lagi segambreng. Sudah jauh lebih banyak ketimbang pengunjungnya. Hello, any body here! Tuh goa rendah dan tampak serem. Masuk ke sana cuma jadi wacana.

Jalanan melintang di depan goa menanjak dan katanya busa kembali ke pintu keluar. Dari pada masuk goa yang nggak jelas, kami lebih memilih mengitari goa dengan jalanan menanjak tersebut. Nah, di sinilah trauma monyet bermula.

Ok, gaes! Bayangkan....
Kalian mendapati tatapan sinis monyet dengan kalimat seolah ingin menerkam dan merampok apapun yang kita bawa. Lalu, mereka beneran melompat dan huk! Kami teriak udah seperti orang gila, orang kesurupan, tapi gak ada keajaiban apapun. Mereka semakin liar dengan menarik-narik rok kami, ditambaj lompatan mereka yang kayak kilat. Jangan bayangin tuh monyet kecil-kecil yang biasanya dipake topeng monyet. Monyetnya segede jaban, lebih gemuk dia daripada aku.

Aku udah yang nangis pasrah dan Dina yang berada paling ujung gak bisa gerak sama sekali antara takut dan tertawan oleh monyet yang gigit kuat di roknya. Sedangkan Pepe, ia juga berdiri di tanah paling rendah sambil teriak "reneo rek, tak gandeng. Cepetan, ayo mbalik!" Hello, kaki udah berasa dipasung gaes. Aku nangis sambil merintih, "yallaah, tolong kera ini pahamkan bahasa kami kalau kami ketakutan". Yaampun, aku alay bener, ya. Tapi emang bener, lho. Di jalanan menanjak tersebut, nggak ada seorang pun yang bisa mendengar suara permintaan tolong kami.

Kami yang mulanya uda kayak bebi kembar siam, jadilah terpencar gegara kawanan monyet dan baiklah, kronologi berakhir karena kami sepakat meng-hus-hus mereka dengan perlaha. Mereka sedikit lunak meski masih dengan tatapan membunuh. Dina yang berada di ujung, berjalan turun perlahan menyusulku, lalu bergabung sama Pepe.

Kami jalan bertiga yang sambil pegangan tangan rapet banget, jalannya ngalah-ngalahi pengantin baru, super pelan, tanpa suara, tapi mulut komat-kamit penuh istighfar. Barusan adalah kejadian paling menyeramkan sekaligus tak terlupakan.

Tiba di tempat peristirahatan depan goa, meski dengan posisi masih banyak monyet (tapi yang di sini tidak seliar yang di atas, sumpah!) Kami menertawakan kejadian yang baru saja lewat. Selain jadi cerita tersendiri, trauma baru tentang monyet sudah terpatri di hati. Yaampun, 26 tahunku ditawan monyet!

Dina, Pepe...
Masih trauma atau pengen ngulang?


Tuban 22052019
#muthyasadeea #tulisandee #ceritadee

1 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee