Minggu, 17 Februari 2019

Tumpah Darahku

~~~
"Mau ke mana, Nak? Hari masih hujan. Tinggallah di rumah saja. Lagi pula, pasti sekolah sudah sepi jam segini," tukas wanita paruh baya itu. Suaranya terdengar was-was melihat putra bungsunya bersiap mengenakan baju dan hendak keluar rumah padahal hujan sedang turun dengan lebat.

"Pak Husin sedang sakit, Bu. Jadi tidak mungkin ke sekolah untuk menurunkan bendera," sahut bocah laki-laki 9 tahun itu yang tengah sibuk mengenakan baju plastik pengganti jas hujan untuk melindunginya supaya tak kebahasahan.

"Lagi pula, itu bukan tugas kamu, Kus. Nanti kamu sakit kalau memaksakan menerobos hujan lebat begitu." Ibunya masih kukuh melarang Kusno untuk keluar rumah.

"Sebaiknya Ibu mendoakanku supaya usahaku tak sia-sia, kemudian aku bisa kembali pulang sekaligus menyelamatkan bendera merah putih. Besok waktunya upacara, Bu. Dan sekolah hanya memiliki sebuah bendera. Jika besok benderanya basah, kasihan teman-teman petugas upacara. Aku nggak mau itu benar-benar terjadi," jawab Kusno yang kini sudah berlutut di hadapan wanita bergelung rendah tersebut.

Wanita itu tak punya pilihan lain selain diam. Dan Kusno tetap memohon dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Butuh beberapa detik untuk membuat ibunya akhirnya mengangguk mengizinkan. Kusno segera melonjak ke luar rumah.

Tubuhnya sudah terbungkus oleh plastik-plastik untuk sedikit mengurangi air hujan yang bisa membuatnya basah kuyup. Ia bertelanjang kaki supaya tak tertahan selip sebab tanah merah yang gembur terkena air.

Kusno tiba di lapangan sekolahnya yang sangat luas, karena langsung bersebarangan dengan ladang penduduk. Bangunan dengan 7 ruangan itu berdiri tanpa ada pagar atau penanda bahwa itu merupakan gedung sekolah. Yang ada hanya sebuah papan rapuh ---berapa ujungnya sudah termakan rayap- bertulisan "Sekolah Rakjat" tanpa ada kata atau hurun lain.

Tiang yang dimaksud hanyalah sebuah bambu yang dirangkai sedemikian rupa hingga tingginya setara dengan genteng sekolah. Kemudian sebuah tali dikaitkan pada ujung tiang yang sengaja diberi lubang. Kusno segera membuka kuncian pada pangkal tali yang setinggi tangannya.

Hujan turun benar-benar lebat. Sesekali, Kusno merasa seperti tengah dicambuk tanpa henti. Bulirnya terasa besar-besar. Meski sudah mengenakan plastik, Kusno masih merasakan sakitnya hantaman butir air dari langit tersebut.

Petir menggelegar luar biasa ketika bendera itu sudah setengah tiang. Meski terkejut, takut, dan khawatir, Kusno merasa wajib untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan tangan gemetar -entah karena kedinginan atau ketakutan- Kusno berhasil melepas ikatan bendera pada tali. Dengan segera ia melipat kain 1x1,5 meter itu dan mendekapnya erat.

Mungkin sederhana, tapi tidak dengan Kusno. Menyelamatkan bendera bangsanya sudah seperti menjunjung tinggi tanah air dan itu menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Hal sekecil dan seremeh itu juga berhasil membuat sang ibu tersenyum bahagia menyadari rasa nasionalisme bungsunya.

🖤
Tuban 17022019
#muhyasadeea #tulisandee #ceritadee
#onedayonepost #ReadingChallengeOdop #tugaslevel2 #level2tantangan3 #tugascerpen

6 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee