Senin, 03 September 2018

Pembukaan September oleh Hujan


Malam ini, dengan sisa tetes air langit sesorean tadi, izinkan aku memuisikan kenangan yang masih bertahta dalam kerajaan hatiku. Bukan tengah berniat mengenangmu, namun, ingin membalikkan pertanyaan, bukankah salah satu fungsi dari turunnya hujan merupakan sebagai alarm kenangan? Anggap saja, aku sedang ingin melakukannya.

....

Tetes hujan ini....
Kita pernah dipertemukannya yang kemudian menjadikan langkahku dan langkahmu saling menjauh. Bukan! Itu bukan menghindar. Namun, karena kita berada di emperan toko dan tak mungkin untuk berbagi tempat. Baik aku dan kamu hanya bermodal tangan sebagai usaha perlindungan dari hujan. Ah, dia datang tanpa permisi.

Kita pernah kembali dipertemukannya yang justru membuat suaraku tertelan jauh oleh rintik hujan. Ah, suaraku berduel dengan derasnya hujan dan kamu hanya melempar senyum. Dan di beranda masjid itu, aku dan kamu yang duduk dengan bersekat tiangnya, justru sibuk berkirim pesan. Hei! Kita tengah bertatap muka, tapi mengapa harus berkomunikasi melalui ponsel? Itu konyol!

Pada akhirnya kita dipisahkan oleh iringan riak hujan yang menyembunyikan isakku. Keputusanku melepasmu dan juga kebesaran hatimu merelakanku, diantar deras hujan yang bersikukuh menjadi bagian antara aku dan kamu. Sepertinya kamu tahu aku menangis sebagaimana aku tahu kamu juga tengah menangis pada waktu itu. Jika bukan karena hujan, kalimat-kalimat perpisahanmu akan utuh dalam pendengaranku.

Tetes hujan ini...
Aku menyebutnya serangan kenangan. Seperti hujan hari ini yang turun tiba-tiba tanpa pertanda, kenangan tentangmu pun hadir tiba-tiba tanpa permisi. Hebatnya lagi, aku masih menyertakan air mata untuk mengenangmu. Bukan, bukan sebagai bentuk penyesalan. Aku memang sedih ketika melepasmu, tapi sungguh, sedihku bukan melalui air mata seperti sekarang ini.

Aku pernah mencintaimu dan diridhoi langit, begitu aku mengartikan hujan di dua pertemuanku dan kamu. Namun, ridho-Nya tidak berjalan lurus sebanding dengan air hujan yang katanya merupakan air berkah dari langit. Dan saat itu, aku bisa menyebutnya benar-benar air berkah. Dimana ketika dipisahkan darimu, aku mendewasa, memahami bahwa kebergantungan harapan kita hanya pada Tuhan semata.

Aku berkehendak,
Kamu pun berkehendak.
Namun, Allaah Maha Berkehendak.

Tak apa....
Setelah ribuan tetes air langit menuruni bumi, aku dan kamu punya kehidupan dan jalan masing-masing untuk memilih bahagia. Aku pun telah berhenti berharap agar kamu bersedia mengenangku. Namun, perihal aku mengenangmu, itu hakku bukan??

Ah, maaf....
Hujan ini, aku tak ingin mengkambinghitamkannya. Memang aku yang salah. Harusnya cukup diam bertafakkur bersyukur untuk hujan yang turun tiba-tiba setelah merasakan panas matahari yang luar biasa hebatnya.
Hujan ini, aku tak lagi akan mempermasalahkannya. Enam tahun berlalu dan aku masih baik-baik saja ketika hujan menderas. Ya, sekalipun curah hujan selalu berbanding lurus dengan tetes air mataku. Norak!
Hujan ini, entah harus tetes ke berapa kali lagi supaya aku tak lagi terjebak oleh kenangan masa lalu. Aku tak pernah henti berdoa supaya tangisku hari ini menjadi tangis terakhir ketika aku bersamaan mengenangmu melalui hujan. Sungguh! Aku pun lelah.

🖤
🖤
🖤
Tuban, 01092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6

1 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee