....
Sambungan postingan sebelumnya.
.
.
.
Belajar dari sang legendaries jejaka
Abu Nawas (Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami, 145 H/747 M - 199 H/814 M). Masa
mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai
tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya
juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan
keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu
Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam
Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya
bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair
dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan
membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu
Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat
Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup
bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti
Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis
puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena
kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah,
yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan
hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera
humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban
dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam
penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar
yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas
memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada
Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh
pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk
Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad
setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami
kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas
menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai
jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu
Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam
kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Hingga dalam akhir hayatnya, syair
yang begitu menyentuh hati berhasil diabadikan dengan baik oleh para pemuka
Baghdad. Konon Abu Nawas meninggal karena
dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh
dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
إلهي لستُ للفردوس اهلاً # ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي تويةً واغفر ذنوبي # فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبي مثل اعداد الرّمال # فهب لي توبةً يا ذا الجلال
و عمري ناقص فى كلّ يوم # و ذنبي زائد كيف احتمال
إلهى عبدك العاصى اتاك # مقِرًّا بالذنوب و قد دعاك
فإن تغفر فأنت لذاك أهلٌ # فإن تطرد فمَن يرحم سِواك
❤
Mampu menulis seperti ini, tak lantas
penulis telah mampu bermuhasabah diri. Semua manusia memiliki sifat sama yang
terkadang lupa diri. Bukan manusia namanya jika ia tak pernah berbuat
kesalahan. Semoga, tulisan ini senantiasa memotivasi kita untuk mengingat
keabadian kelak. Menjadikannya sebagai nasihat untuk semua, khususnya diri saya
sendiri.
Terispirasi oleh sajak yang
didendangkan ibu…
صلاة الله سلام الله # على طه رسول الله
صلاة الله سلام الله # على يس حبيب الله
Poro sederek poro sedoyo, gedhe cilik
enom lan tuwo
Panggilane Kang Moho Kuoso, gelem gak
gelem bakale teko
Disalini sandang putih, yen wis budhal
ra biso mulih
Tumpa’ane kreto jowo, rodho papat rupo
menungso
Jujugane omah guwo, tanpo bantal tanpo
keloso
Omahe ra no lawange, turu ijen ra no
kancane
Ditutupi anjang-anjang, di urug
disiram kembang
Tonggo-tonggo podho nyambang, tangise
koyo wong nembang
❤
Tuban, 14092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee