Kamis, 13 September 2018

(Bukan) Keluarga Cemara #part1

~Percakapan Dini Hari~
🖤Dee🖤


"Ibu, benarkah Allah tidak sedang tidur?" Bocah 9 tahun itu tiba-tiba sudah duduk bersandar pada wanita paruh baya yang tengah duduk bersimpuh di atas sajadah masih lengkap dengan mengenakan mukena.

"Mengapa Fikri tiba-tiba bertanya begitu, Nak?" Wanita itu balik bertanya. Ia jelas terperanjat mendengar pertanyaan aneh putra bungsunya. Ah, lebih dari itu. Jam menunjuk pukul 02.50 dini hari dan ia sedang mendirikan tahajud. Mendapati putranya terbangun dan bertanya tiba-tiba seperti itu tepat di sisinya, membuatnya menggandakan banyak pertanyaan di kepala.

"Ibu masih sering menangis sendirian. Nggak mau Mbak Rani atau Mbak Nina mendengar. Kata Ibu, Allah tidak akan menguji manusia di luar batas kekuatannya. Kenapa Allah menguji Ibu di luar kekuatan Ibu?" Tanya bocah itu. Ia sudah berpindah posisi, terbaring dengan kepala trpat di pangkuan sang ibu. Jemari mungilnya asyik memilin ruas ujung sajadah.

Ah, jika saja sajadah itu juga barang hidup, dia akan bergetar mendengar penuturan polos bocah tanpa dosa tersebut. Pernyataannya diplomatis dan berdasar. Bukankah selama ini memang banyak hamba yang merasa diuji di luar batas kemampuannya. Namun, protes itu keluar dari mulut anak berusia 9 tahun. Hal yang bagi kita -para dewasa- tidak terpikirkan mereka bisa menerjemahkan kalam Allah, laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa.

Mata yang masih basah itu menahan sisa air di ujungnya. Kepalanya mendongak, seperti berharap mendapat kekuatan baru untuk bisa sekadar mengeluarkan kata-kata sanggahan atau setidaknya pembelaan atas pernyataan yang baru saja didengarnya. Tangannya yang semula masih memutar biji tasbih, melepas butirnya dan berganti mengelus kepala di pangkuannya.

"Ibu sedang ngobrol sama Allah, makanya kebawa cerita sampai nangis. Siapa bilang Allah sedang menguji Ibu di luar batas kekuatan Ibu? Ibu menangis bukan berarti Ibu tidak kuat menjalani ini kan, Fikri? Seperti Fikri yang mengeluh ketika dimintai tolong, bukan berarti Fikri tidak mau menolong, kan?" Kalimatnya keluar dengan lembut seperti nyanyian yang bisa menyihir sosok bocah 9 tahun itu mengangguk membenarkan. Ia memalingkan wajah menatap sang ibu yang juga tengah menatapnya sembari membelai kepalanya.

"Apa Ibu beneran bisa ngobrol sama Allah? Bisa dengar suara-Nya? Terus, kenapa Allah nggak menghapus air mata Ibu ketika Ibu menangis? Kata Ibu, Allah Maha Pengasih. Allah Mahabaik. Kenapa hanya diam saja melihat Ibu menangis?" Matanya bertanya penuh kesungguhan dan seolah menuntut jawaban yang benar-benar jujur. Tatapannya tak berpindah sedetik pun dari gerak-gerik sang ibu. Dari jenis pertanyaan yang dilontarkannya, ia memang menuntut sebuah kejujuran. Sepertinya, ia tidak sedang bermain-main dengan kalimat tanya yang baru saja dilontarkannya.

Wanita itu memiliki ribuan jawaban yang pasti akan selalu dibenarkan oleh putra bungsunya tersebut. Hanya saja, waktu dan keadaan saat ini bukan lumrah seperti sebelumnya. Ia bahkan tak bisa sekadar berpura-pura jujur dengan jawaban yang akan diberikannya. Atau hanya untuk sejenak memasang topeng palsunya. Kejadian malam ini, tidak pernah masuk dalam list prediksinya.

"Fikri ingat ketika masih belajar naik sepeda?" Ia balik bertanya yang langsung disahut anggukan semangat oleh Fikri.

"Fikri jatuh berkali-kali dan selalu menangis. Tapi, Ibu malah diam saja lihatin Fikri dan duduk menunggu Fikri di ujung halaman. Hal itu yang buat Fikri mau nggak mau terus berlatih naik sepedanya. Walaupun sebenarnya, Fikri saat itu benar-benar jengkel sama Ibu. Eh, kalau Ibu saat itu nggak bersikap begitu, mungkin Fikri masih belum bisa naik sepeda dengan berani," jawabnya panjang lebar dan sangat antusias. Matanya meredup dan berbinar mengikuti ritme cerita.

"Persis!" Sahut wanita itu segera yang membuat Fikri mengerutkan keningnya. "Itu yang sedang Allah lakukan pada Ibu. Allah sangat ingin membantu Ibu, menghapus air mata Ibu. Tapi, kalau itu langsung dilakukan oleh Allah, lantas, dari mana Ibu bisa belajar kesabaran, sebagaimana Fikri yang bersabar untuk bisa mengayuh sepeda? Perihal Allah tidak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita, itu janji Allah sendiri. Bukan semata-mata kata Ibu. Jadi, antara tangisan ibu seorang diri di malam hari, tidak ada hubungannya dengan ujian yang diberikan Allah. Sampai sini, Fikri mengerti?"

Dan lagi, kalimat panjangnya yang disampaikan dengan penuh kelembutan, dibenarkan Fikri. Bocah 9 tahun itu mengangguk-angguk. Ia melihat mata bening sang ibu yang memang menyiratkan kejujuran. Kemudian ia tersenyum lega mendapati bahwa pertanyaan-pertanyaannya terjawab dengan kalimat paling indah.

"Tapi, Mbak Rani dan Mbak Nina ...," Kalimat Fikri menggantung. Kini, ia sudah duduk tepat di hadapan sang ibu. Wanita itu melebarkan matanya penuh tanya. Namun, sejurus kemudian, Fikri justru menggeleng dan meringis. Sedangkan sang ibu sendiri enggan untuk bertanua langsung.

"Ya, sudah. Ibu lanjutin ngobrol sama Allah. Fikri mau balik tidur saja, ya? Nanti adzan shubuh bangunin Fikri. Ok?" Dan ia sudah berdiri dan mendaratkan sebuah kecupan di kening sang ibu sesaat sebelum beranjak. Wanita itu tersenyum.

Namun, kristal di ujung matanya langsung meluncur tiba-tiba begitu bungsunya hilang dari pandangan mata. Dadanya terasa sesak. Ada yang salah dengan hatinya. Atau jangan-jangan, itu akibat dari kebohongan kecilnya barusan? Bukankah kalimatnya masuk akal dan sudah sesuai dengan pemahaman anak seusia 9 tahun? Ia segera bersujud dan melurihkan istighfar.

• • • • • • •

Allah, kata ibu, Kau Mahabaik. Berarti, apa Mbak Rani dan Mbak Nina yang belum baik? Mengapa aku nggak berani nanya ibu tentang Mbak Rani dan Mbak Nina? Ah, tau, ah! Allah, aku titip ibuku, ya! Jangan biarkan ibu nangis lama-lama. Kasihan...

Batinnya sibuk bermonolog meski matanya tengah terpejam, atau lebih tepatnya berusaha terpejam. Ia mempererat pelukannya untuk guling supaya bisa kembali terlelap.

Dan seumpama sajadah tadi, selimut yang membalut tubuh Fikri, jika saja ia benda hidup, pastilah bergetar oleh kalimat-kalimat polosnya. Sederhana memang. Namun, memiliki dasar kuat dan pandangan yang tidak selayaknya dipikirkan bocah 9 tahun. Fikri terselimuti dengan kehangatan meski separuh dimensinya masih dipenuhi tanda tanya. Ah, harus dimuarakan ke mana semua keingin tahuannya?

Allah Mahabaik. Allah Mahabaik. Allah Mahabaik. 

Bisikan itu, mengangkasa.




=Cerita ini bersambung dan akan diperbarui setiap Senin, in syaa allaah=
Tuban, 10092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6

2 komentar:

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee