Semua berawal dari kemunafiqanku. Semua keegoanku yang pada akhirnya membuahkan penyesalan hingga detik ini. Saat aku masih harus terus duduk termenung menanti jawaban yang tak tentu. Dan aku tak pernah tahu kemana aku harus mengadukan semua ini. Tentang perasaan yang tak menentu ini.
Hujan rintik-rintik sore tadi, mengantar dingin di pengujung malam ini. Dan di beranda rumah, masih berkawan sunyi, aku duduk menyendiri. Aku tak menyadari, entah sejak kapan, tiba-tiba saja ibu sudah duduk menjejeriku. Aku segera tertunduk menyadari keberadaan beliau.
“Kamu menangis?” Tanya beliau tanpa menatap wajahku. Aku tergugup. Dasar bodoh! Bisa-bisanya kamu nangis tapi gak sadar. Rutukku sendiri dalam hati.
“Ah, nggak kok Bu! Cuma kena angin malam aja," dustaku sambil menyembunyikan sisa-sisa air mata yang ada. Ibu tak lagi bicara. Aku tak berani menatapnya. Fikiranku melayang tanpa menghiraukan ibu yang setia menemani malamku.
2 tahun yang lalu…
“Tuh cowok bener-bener nekat, Han! Liat aja, foto kamu nempel di mana-mana," suaranya menyapaku tak karuan di ruang perpus pagi itu. Dia Feni. Sahabat terbaikku di kampus ini.
“Kamu betah juga ya Han, diteror kayak gini! Saranku ya, Han… mending kamu terima aja deh! Daripada ngejar-ngejar kamu nggak ketulungan gitu," ujarnya saat sudah duduk tepat di sampingku. Aku tak menghiraukannya tapi lebih tepatnya, pura-pura tak menghiraukannya.
“Kalo kemaren-kemaren nerornya pakek nyanyi aja, masih bisa ditolerir. Lha yang ini? Doi uda berani nyebar foto kamu. Ayo dong, Han… kamu yang tegas! Nolak dia atau…” nada suaranya lebih terdengar seperti menggoda. Perlahan, aku menoleh ke arahnya. Tersenyum simpul.
“OK… aku tahu alasan klise kamu. Tapi dia patut diperhitungkan," ia beranjak dari duduknya, berganti tepat berada di depanku. “Dia nggak cuma ganteng, kaya atau juga karena dia anak band. Tapi prestasinya juga dari segala bidang. Semua organisasi juga digelutinya," ujarnya yang sepertinya hanya ingin aku saja yang mendengarnya. Aku kembali tersenyum menatapnya.
“Fen,,,itu semua bukan kriteria yang diinginkan abah. Kalau kamu suka, kamu saja”, paparku lembut.
“My God, Hana… coba Alfa mau sama aku, aku tinggalin aja si Tomi”, tukasnya lebai. Aku tersenyum melihatnya. “It’s ok! Sekarang, yang mau nikah, kamunya atau abah kamu?” lanjutnya yang kembali seperti berbisik. Aku tertunduk mendengar penuturannya.
“Aku ngerti posisi kamu, Han… aku akan dengar apapun yang ingin kamu katakan”, ujar Feni saat kurasakan tanganku digenggam olehnya. Perlahan, kuangkat kepalaku. Kudapati senyumnya yang benar-benar tulus. Lalu, ia beranjak meninggalkanku. Membiarkanku sendiri.
Aku tertunduk sepeninggal Feni. Rasanya, aku harus benar-benar bersyukur menemukan sosok seperti Feni di kampus elite ini.
“Assalamu’alaikum, Hana…” suara itu tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku.
“Wa’alaikum salam”, kujawab salam itu sedatar mungkin. Suara ini sudah tak asing lagi di telingaku. Perlahan, kuangkat kepalaku sedikit demi sedikit, berusaha menghindari tatapan matanya yang duduk tepat di hadapanku. Selalu saja aku merasa salah tingkah di hadapnnya.
“Gue, eh, aku tahu. Kamu pasti nggak akan pernah bereaksi, segila apapun usaha yang aku lakukan buat dapetin cinta kamu. Tapi jujur Han, gue, eh, salah lagi! Aku serius benar-benar cinta kamu. Ini dari lubuk hati yang paling dalam”, ujarnya setengah berbisik. Entah! Sudah berapa kali kudengar kata-kata ini darinya, tapi aku masih saja selalu terkesiap setiap kali mendengarnya.
“Ini kado mungil dariku. Aku mohon… lihatlah dulu isinya. Jangan langsung kamu berikan pada orang lain. Sekali ini, aja!”, suaranya benar-benar seperti memohon. Aku masih menunduk sama sekali tak ingin melihatnya. Berusaha menytabilkan perasaan aneh yang kurasa.
“Ok! Kamu diam aku anggap kamu mendengar permohonanku”, ujarnya sembari menghembuskan napas besarnya.
“Aku pamit dulu. Ada rapat di mapala. Assalamu’alaikum, Hana…”, pamitnya berlalu. Kujawab salamnya lirih sembari mengangkat kepala. Dan kudapati punggungnya yang telah menjauh.
Kotak mungil itu berada tak jauh di hadapanku. Sejenak, kupandanginya.
“Buka aja! Mau sampai kapan kamu terus-terusan nolak kado darinya?” Feni telah kembali di sisiku. Aku menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. “Atau aku saja yang membukanya?” lanjutnya lagi meraih kotak mungil itu. Aku tak berontak. Membiarkannya membuka setiap kertas yang membungkusnya.
“Nah, Lho, Han! Qur’an?” sura takjub Feni segera membuatku menoleh mencari kebenaran itu. Dan benar. Kudapati sebuah mushaf mungil di dalamnya.
Apa maksud pemberiannya kali ini? Mengapa harus mushaf?
Itu satu. Dan lagi…
Ramadhan tahun ini benar-benar melelahkan karena kuliah masih fulltime. Kudinginkan kepalaku sejenak dengan menikmati rindangnya pohon di taman kampus. Walaupun aku harus melihat pemandangan yang tidak layak ada saat ramadhan karena masih banyak yang tidak menjalankan puasa. Aku menggeleng-geleng sendiri. Menyadari ini adalah kampus elite di kota metropolitan. Iman harus benar-benar di kokohkan.
Tiba-tiba, aku mendengar sebuah kericuhan yang terjadi tak jauh di belakangku. Aku sengaja tak menoleh. Karena aku merasa asing dengan taman ini.
“Memang ada yang lebih penting, dari kebersamaan kita melepas lelah setelah latihan dengan makan siang bersama? Lo nggak punya pikiran buat ngehindar dari kita, kan?”
“Sebenarnya, apa maksud lo nolak tawaran kita buat makan siang bareng tiap kali kita abis latihan?”
“Suka-suka gue! Kalian makan tanpa gue juga, kan bisa! Toh, gue juga nggak pernah absen buat latihan ngeband bareng kalian. Apa masih perlu alasan kenapa gue nolak ajakan makan siang kalian?”
“Lo aneh, Fa! Atau jangan-jangan, lo…puasa?" suasana menegang. Terdengar cekikikan merendah tenggelam dalam tegangnya suasana.
Beberapa detik kemudian, “Gue emang puasa! Salah? Gue muslim!”, suara itu benar-benar familiar di telingaku. “Kalau kalian masih nganggep gue temen kalian, hargai keadaan gue!”
Koridor kampus…
“Nih!” aku sengaja menawarinya sebotol air minum.
“Gue puasa!” jawabnya singkat dan terdengar begitu ketus. Aku tersenyum mendengarnya. Aku yaqin, dia masih diliputi kekesalan. Hingga mungkin, ia enggan untuk sekedar mengangkat kepalanya.
“Sia-sia saja puasanya, kalau masih marah-marah," ujarku pelan membuatnya seketika berdiri. Aku tertegun dan segera menundukkan kepalaku. Dia berdiri tepat di hadapanku.
“Han, Hana…”, ia terbata seperti nada terkejut.
“Banyak istighfar, ya! Assalamu’alaikum”, pamitku segera berlalu dari hadapannya.
Dia mengorbankan kebersamaan dengan teman bandnya demi puasa?
Itu dua. Dan aku semakin tak mengerti saat…
BRAKK!!!
Aku yang sedang sibuk di depan layar computer, jelas terlonjak mendengar gebrakan pintu yang benar-benar keras. Sesegera mungkin kutoleh si biang kerok itu.
“Heh! Sopan dikit nggak bisa? Ini ruangan ada yang nempatin. Bukan gudang!” kulihat Feni tengah menggertak 4 cowok asing yang datang dengan wajah emosi penuh kemarahan.
“Mana yang namanya Hana?” wajahku pucat pasi. Siapa mereka? Mengapa mereka menyebut namaku? Apa yang sudah kuperbuat? Perlahan, aku berdiri mendekat ke arah Feni.
“Sadar nggak, lo yang udah buat ini semua?” ujar salah seorang dari mereka sambil membanting kasar setumpuk majalah dan bulletin kampus. Aku tak mengerti maksud mereka. Bahkan aku tak mengenal mereka.
“Lo pikir, lo siapa? Mau nghancurin Bluestar? Ngaca! Cuma cewek udik yang nggak tau mode!” ujar yang lain lagi sambil menuding kasar ke arahku. Dan aku, hanya bisa tertunduk.
“Kalian apa-apaan? Beraninya main keroyok!” Feni mencoba membelaku.
“Lo diem! Lo gak tau apa-apa tentang ini. Kalo temen kesayangan lo ini berani macem-macem, kita nggak segan-segan akan buat dia hengkang dari kampus ini," ancam salah satu dari mereka. Kemudian, mereka berlalu begitu saja. Menyisakan aku yang terisak dalam pelukan Feni.
“Liat, Han! Alfabyan keluar tiba-tiba dari Bluestar tanpa sepatah katapun," Feni mengeja salah satu majalah yang tadi dibawa oleh keempat cowok asing itu. Aku tak ingin tahu lebih dari ini. Aku baru mengerti. Keempat cowok tadi adalah personel Bluestar yang lain. Mahaband di kampus elite ini, tapi, bahkan aku sendiri, tak tahu tentang mereka. Band yang berisikan 5 mahasiswa keren, tampan dan tajir. Aku masih saja terus menangis dalam pelukan Feni.
Apa peranku dalam hengkangnya Alfa dari Bluestar? Siapa aku buat mereka?
Itu tiga. Dan masih banyak lagi tanyaku yang tak terungkap.
🖤🖤🖤
Temukan jawabannya di postingan selanjutnya. Okeh??
Tenang, cuma dua part kok!
Cerita lama yang ingin aku bangunkan dari tidur panjangnya.
Happy reading😄
Dee💗
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee