Sabtu, 22 September 2018

Terlambat Mengenangmu #part3



Menjemput Rabu, 15 Juni 2011/ 13 Rajab 1432

Kenyataan terperih yang harus kualami, meninggalkan senyum dan kesetiakawanan yang telah banyak diajarkan oleh sejuta teman seperjuanganku di bumi pengabdian. Menyisakan tangis yang hingga saat ini masih terkenang. 

Tidak tahukah kau? Saat aku tertawa di hadapan mereka, karena di situlah batas kebertahananku. Kau melemparkan semua mimpi-mimpiku hingga berserak tak beraturan. Mengorbankan sebuah kisah panjang yang tinggal menanti detik melepas tangan. Kau benar-benar sungguh tega untuk sekedar membuatku hidup namun tak layaknya makhluk hidup. Aku tersiksa manahan semua.

Aku tak tahu bagaimana harus memaknai semua yang telah kualami. Bahkan, di sisa dari pengabdian akhirku, dengan sangat lancangnya kau mendepakku. Menyeretku untuk menyeru bayang kejimu. Aku menangis. Dan kamu tak akan pernah bisa mengerti bagaimana tangis yang hanya aku sendiri mendengarnya.

Pengaduanku hanya berujung pada Sang Pemilik Hidup. Karena aku tahu, tak akan ada seorangpun yang mau mendengarku. Menyisakan aku dengan segala tenaga yang untuk sekedar bernapas saja aku harus terengah-engah. Menelan berjuta mimpiku bulat-bulat. Tidak berkacakah dirimu? Kesempurnaanmu mampu meraih apapun tanpa adanya aku yang harus kau seret paksa. Aku marah! Sangat marah! Bukankah kamu punya berjuta pemikiran indah tanpa harus berhias tangisku? Masih berfungsikah otak dan neutronmu?

Harusnya kamu lebih banyak melihat. Bukan sekadar mendengar. Aku hanya gadis cacat. Mengapa harus aku yang kau usik? Lihatlah mereka yang mendewakanmu. Mengagunggkan ketampananmu, kepandaianmu, kesholihanmu. Mereka jauh lebih sempurna dengan apa yang harusnya menjadi sepadan dengan bersandingkan dirimu. Berparas ayu dengan bulu mata terbalik, mata yang indah, hidung mancung, bibir merekah. Ditambah penampilan yang anggun dengan tangan berjari lentik, tubuh semampai. Belum yang jika ditambahkan ber-uang emas. Dan aku? Aku bak tanah. Tak ada harganya. Gadis cacat dengan berjuta kekurangan dan hanya dilahirkan dari keluarga sederhana. Tidak melihatnyakah engkau?

Andai saat itu kamu ada di hadapanku, ingin rasanya aku berlutut di hadapanmu. Menangis dan memohon, carilah yang lebih baik. Jauh lebih baik dariku yang pasti akan sangat mengecewakanmu. Namun, apa daya. Justru tangismu membahana. Memanjakan indra pendengaranku yang sudah tak lagi sinkron dengan isi hatiku.

“Keyakinan itu dari sini,” ucapmu datar menunjuk dada bidangmu. “Dan aku tak mampu untuk mendustainya. Jika kau mampu mendustai hatimu, maka, ajarkanlah aku cara untuk mendustai hatiku sendiri.”

Dan airmataku menetes. Apapun yang diucap oleh bibir, bisa saja itu dusta. Namun hati. Mampukah ia berdusta?

“Di mataku tak ada kekurangan dalam setiap wanita. Karena di balik kesuksesan sorang laki-laki pun, selalu ada wanita. Aku tak ingin banyak mengenalmu. Cukup aku tahu, bagaimana orang-orang sekelilingmu menilai keberadaanmu. Dan sungguh, tiada yang ingin mambuatku segera menghalalkanmu, kecuali memenuhi dunia akhir zaman dengan Muthi’ah-Muthi’ah lain dari rahimmu.” 

Dan aku tahu, kamu pun berurai air mata saat mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang entah sejak kapan engkau merangkainya, hingga mampu membuatku tak sanggup untuk kembali berkata-kata.





Tuban, 22092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee