Menjemput Rabu, 15 Juni 2011/ 13 Rajab 1432
Kenyataan terperih yang harus kualami, meninggalkan senyum dan kesetiakawanan yang telah banyak diajarkan oleh sejuta
teman seperjuanganku di bumi pengabdian. Menyisakan tangis yang hingga saat ini
masih terkenang.
Tidak tahukah kau? Saat aku tertawa di hadapan mereka, karena
di situlah batas kebertahananku. Kau melemparkan semua mimpi-mimpiku hingga berserak
tak beraturan. Mengorbankan sebuah kisah panjang yang tinggal menanti detik
melepas tangan. Kau benar-benar sungguh tega untuk sekedar membuatku hidup
namun tak layaknya makhluk hidup. Aku tersiksa manahan semua.
Aku tak tahu bagaimana harus memaknai semua
yang telah kualami. Bahkan, di sisa dari pengabdian akhirku, dengan sangat
lancangnya kau mendepakku. Menyeretku untuk menyeru bayang kejimu. Aku
menangis. Dan kamu tak akan pernah bisa mengerti bagaimana tangis yang hanya
aku sendiri mendengarnya.
Pengaduanku
hanya berujung pada Sang Pemilik Hidup. Karena aku tahu, tak akan ada
seorangpun yang mau mendengarku. Menyisakan aku dengan segala tenaga yang untuk
sekedar bernapas saja aku harus terengah-engah. Menelan
berjuta mimpiku bulat-bulat. Tidak berkacakah dirimu? Kesempurnaanmu mampu
meraih apapun tanpa adanya aku yang harus kau seret paksa. Aku marah!
Sangat marah! Bukankah kamu punya berjuta pemikiran indah tanpa harus berhias
tangisku? Masih berfungsikah otak dan neutronmu?
Harusnya kamu lebih banyak melihat. Bukan
sekadar mendengar. Aku hanya gadis cacat. Mengapa harus aku yang kau usik?
Lihatlah mereka yang mendewakanmu. Mengagunggkan ketampananmu,
kepandaianmu, kesholihanmu. Mereka jauh lebih sempurna dengan apa yang
harusnya menjadi sepadan dengan bersandingkan dirimu. Berparas ayu dengan bulu
mata terbalik, mata yang indah, hidung mancung, bibir merekah. Ditambah
penampilan yang anggun dengan tangan berjari lentik, tubuh semampai. Belum
yang jika ditambahkan ber-uang emas. Dan aku? Aku bak tanah. Tak ada harganya.
Gadis cacat dengan berjuta kekurangan dan hanya dilahirkan dari keluarga
sederhana. Tidak melihatnyakah engkau?
Andai saat itu kamu ada di hadapanku, ingin
rasanya aku berlutut di hadapanmu. Menangis dan memohon, carilah yang lebih
baik. Jauh lebih baik dariku yang pasti akan sangat mengecewakanmu.
Namun, apa daya. Justru tangismu membahana. Memanjakan indra pendengaranku yang
sudah tak lagi sinkron dengan isi hatiku.
“Keyakinan itu dari sini,” ucapmu datar
menunjuk dada bidangmu. “Dan aku tak mampu untuk mendustainya. Jika kau
mampu mendustai hatimu, maka, ajarkanlah aku cara untuk mendustai hatiku
sendiri.”
Dan airmataku menetes. Apapun yang diucap oleh bibir, bisa saja itu
dusta. Namun hati. Mampukah ia berdusta?
“Di mataku tak ada kekurangan dalam setiap
wanita. Karena di balik kesuksesan sorang laki-laki pun, selalu ada wanita. Aku
tak ingin banyak mengenalmu. Cukup aku tahu, bagaimana orang-orang sekelilingmu
menilai keberadaanmu. Dan sungguh, tiada yang ingin mambuatku segera
menghalalkanmu, kecuali memenuhi dunia akhir zaman dengan Muthi’ah-Muthi’ah
lain dari rahimmu.”
Dan aku tahu, kamu pun berurai air mata saat mengucapkan
kalimat itu. Kalimat yang entah sejak kapan engkau merangkainya, hingga mampu
membuatku tak sanggup untuk kembali berkata-kata.
❤
Tuban, 22092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee