"Alba?" suara itu sontak membuat pemuda yang tengah berjalan terburu segera berhenti. Laki-laki yang tadi memnggilnya segera mendekati pemuda berbaju biru itu.
"Kamu kemana saja, atuh? Kasian Mawar, menjalani hidupnya sendirian begitu. Yatim piatu, janda, punya bayi pula. Kamu ngilang kemana aja tiga tahun ini?", ujar laki-laki paruh baya itu sambil menepuk halus bahu pemuda yang dipanggilnya Alba.
"Yatim piatu, janda? Maksud Abang apa?", tanyanya kebingungan. Laki-laki berpawakan kurus kecil itu menuntun Alba memasuki pelataran rumahnya yang hanya sejengkal saja dari bangunan rumahnya.
"Kamu samasekali tak tahu apa-apa?", laki-laki itu bertanya memastikan bahwa pemuda di hadapannya benar-benar datang setelah tiga tahun menghilang tanpa kabar. Dan ia pun mengangguk cepat. Perlahan, laki-laki itu mulai berkisah tentang peristiwa tiga tahun lalu.
....
Ruang tamu rumah Pak Hasan sudah dipenuhi dengan tamu. Di tengah ruangan terdapat meja kecil dengan sepsang pengantin yang duduk berseberangan dengan seorang penghulu. Ya! Akad nikah baru saja disahkan oleh para saksi dan tamu undangan yang menyaksikan.
Brak!!
Tiba-tiba saja, hening di tengah doa itu dikejutkan dengan kehadiran seorang pemuda yang menggebrak pintu begitu kerasnya. Jelas semua mata langsung mengarah padanya.
"Pernikahan ini tidak boleh terjadi. Laki-laki tidak bertanggung jawab seperti dia, tidak pantas menikahkan adik sematawayangku. Dan kalian semua, pergi dari sini!", bentaknya keras sambil menuding tajam ke arah seorang laki-laki yang duduk tepat di sisi penghulu nikah. Orang-orang mulai berdiri dari tempat mereka dan menyingkir daei ruang tamu rumah Pak Hasan.
Dan akhirnya, di ruang tamu itu hanya menyisakan pengantin laki-laki, bapak penghulu dan Pak Hasan sendiri. Dari tirai pintu pemisah ruangan, muncul gadis berkebaya putih dengan wajah layunya.
"Kakak...?", tatapannya nanar ke arah pemuda yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Mawar! Dia bukan lagi kakakmu jika telah memutuskan untuk menentang ayah. Sekali-kali, kamu tidak perlu peduli lagi pada kehidupannya", bentakan itu menghentikan langkah gadis itu yang hendak menuju arah pemuda di ambang pintu.
"Tapi, ayah....".
"Kamu mau ikut-ikutan durhaka seperti dia juga? Ha!", sergahnya lebih keras. Gadis itu tertunduk dengan airmata yang tak bisa berhenti mengalir.
Pemuda itu menerobos masuk, memegang pasti lengan gadis itu. Laki-laki yang menyebut dirinya ayah, yang tak lain adalah Pak Hasan itu, berdiri dengan susah payah. Pengantin laki-laki yang ada di ruangvtamu itu segera membantunya.
"Ayo, Ziy! Kamu bukan boneka yang bisa dipermainkan oleh ayah dengan begitu mudahnya. Kamu harus segera pergi dari sini. Vijai sudah menunggu", tukas pemuda itu dengan tegasnya sembari mencengkeram lengan gadis berkebaya putih itu. Mendengar nama Vijai, sosoknya spontan mengangkat kepala, menatap pasti ke arah pemuda itu yang tak lain adalah kakaknya.
"ALBA!", bentakan itu benar-benar memekakkan telinga. Pak Hasan sudah berdiri hanya beberapa langkah di sisi pemuda itu.
Plak!
Suara tamparan itu cukup untuk membuat darang segar muncrat dari hidung dan mulut pemuda itu. Gadis berkebaya putih itu tercengang melihat kejadian yang berlangsung tak kurang dari sepersekian detik tersebut. Dan jelas, pemuda itu meringis kesakitan memegang pipi kanannya.
"Sudah aku katakan, jangan sekali-kali memukulku di hadapan Ziy. Tapi kau benar-benar tidak bisa menahan diri, ha!", pemuda itu melawan dengan geramnya.
Tiba-tiba saja, sosok pemuda yang lain datang dengan langkah memburu.
"Cukup, Ayah... Jangan sakiti Kak Ghazal lagi. Ziy tidak akan menentang perintah ayah apapun itu", gadis iu berlutut di hadapan Pak Hasan.
"Ghazalba! Sudah aku bilang, tidak seharusnya kamu ke sini. Yang kamu lakukan hanya akan menambah kesedihan Ziy. Kamu harus menenangkan hatimu jika ingin mencari solusi kebahagiaan untuk adikmu", pemuda yang baru datang itu segera merangkul Ghazal.
"Maaf, Pak Hasan. Dan kamu juga Ziy. Tidak seharusnya aku mempercayainya ketika ingin mendukung pernikahanmu", ujarnya sambil mengangguk ta'zhim pada Pak Hasan, kemudian menatap Ziy sejenak. Tatapan mereka beradu. Perlahan, ia beranjak sambil menuntun Ghazalba.
"Vijai", panggil Ziy ragu.
"Nitip Kak Ghazal ya....", ujarnya diantara derai airmata. Pemuda itu mengangguk, kemudian berlalu dari ruang tamu rumah Pak Hasan.
Sekalipun dalam keadaan yang tak bisa disebut sakral, prosesi akad nikah tetap dipandang sah. Gadis berkebaya putih itu, Maziya Warda, akrab disapa Mawar, sah diperistri atas dasar perjodohan dari ayahnya yang bernama Idris.
"Nak Mawar, silahkan tanda tangan di sini", panggil Pak Penghulu sambil menunjuk buku nikah. Ziy yang masih tertunduk dengan sisa airmata yang masih tampak pada aliran matanya, mengangguk sambil menuju meja kecil itu.
Sedangkan pada sisi yang lain...
Buk!
Tinju itu melayang tanpa rencana tepat ke pipi pemuda yang tengah menuntunnya. Ia meringis menahan ngilu di rahangnya.
"Dan kamu hanya bisa diam saja melihat kejadian tadi? Kamu sedang pura-pura tidak tahu atau memang buta? Kamu bilang cinta pada adikku tapi bahkan kamu enggan untuk memperjuangkannya. Laki-laki macam apa kamu!?", suaranya parau, menghardik keras pemuda yang baru saja ditinjunya dengan keras.
"Ghazalba... Aku sudah mengatakan ini sebelumnya. Semua posisi sudah menyudutkan keberadaanku. Yang bisa aku lakukan, hanya mendoakan untuk bahagianya. Sebagai seorang kakak, harusnya kamu mengerti jauh lebih baik daripada aku", sanggahnya.
Dan, buk!
Tinju itu melayang kembali di pipinya.
"Aku memahami dengan baik adikku yang kau cintai diam-diam sejak empat tahun lalu. Jadi, jangan sekali-kali berkata seolah-olah kau tahu segalanya tentangnya", ujarnya tegas, kemudian berjalan sempoyongan meninggalkannya yangbmasih meringis menahan sakit di pipinya.
"Dan lagi. Jangan coba-ciba mengikutiku! Aku tidak lagi butuh bantuanmu. Dan aku sudah memutuskan untuk tidak menganggapmu sebagai sahabatku terhitung sejak kau dengan begitu mudahnya mengabaikan adikku pada airmatanya yang nyata. Ingat itu!", tudingnya kasar tepat ke arah pemuda yang mematung di tempatnya dengan memegang pipi kanannya.
Siang itu, langit bersaksi tentang cerita kisah duka yang tak bisa disusun semudah puzzle. Tangis yang nyata, keributan yang ramai, serta hubungan yang memburuk. Semuanya saling berbisik, bayu, gemericik air, dan bahkan serangga ataupun burung-burung yang berterbangan, seolah saling menyalahkan dan menganggap benar antara takdir dan keinginan.
Maziya Warda, si Mawar yang malang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee