Rabu, 03 Oktober 2018

(Bukan) Keluarga Cemara #part4

~Percakapan di Meja Makan~
🖤Dee🖤



Fikri terdiam melihat kakak sulungnya, Rani, yang tengah menatap kosong ke arah ruang tamu. Ia tak berani kembali bersuara setelah terakhir bertanya tentang hal yang ia sama sekali tidak tahu dampaknya. Fikri segera menyibukkan dirinya menghadap buku pelajaran demi menyembunyikan rasa sesalnya.

"Fikri tahu, apa makna dari bercerai?" Rani menatap adik bungsunya dengan dalam. Fikri yang segera menoleh, terlihat diam berpikir keras mendefinisikan pengetahuannya tentang pertanyaan sang kakak barusan.

"Berpisah? Seperti kata bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Seperti itukah, Mbak?" Fikri balik bertanya memastikan. Rani mengangguk perlahan. "Mas Wahyu dan Mbak Rani berpisah? Kenapa? Karena Mbak Rani yang nggak sembuh-sembuh? Mbak Rani kan, bolak-balik Rumah Sakit?"

Rani tersenyum mendengar berondongan pertanyaan adik bungsunya. Sejatinya, ia tengah menyusun kalimat yang mudah dipahami dan diterima oleh sang adik. Namun, tatapan Fikri sangat mengintimidasi dan mendesaknya untuk segera menjawab.

"Fikri bertanya tentang Mbak Nina dan Mas Teguh, bukan? Sementara, pertanyaan Mas Wahyu dipending dulu. Kalau Fikri terus nyela, Mbak Rani nggak bisa menjelaskan dengan runtut. Fikri bisa diam sebentar, mendengar Mbak Rani bercerita panjang lebar," ujar Rani penuh lemah lembut. Fikri menggeleng cepat. Ia menutup bukunya kemudian menatap lebih dekat ke arah Rani.

"Fikri maunya tanya jawab. Fikri cuma mau tahu apa yang ingin Fikri tahu. Bukan mendengar cerita Mbak Rani. Fikri nggak mau!" Tolak bocah 9 tahun itu dengan tegas. Rani terperangah dengan reaksi sang adik. "Fikri mau tahu alasan ibu yang kerap kali menangis. Atau tetangga kanan kiri yang menginterogasi Fikri tentang keberadaan Mas Wahyu dan Mas Teguh. Juga Mbak Nina yang sudah bukan kayak anak ibu dan juga mbaknya Fikri. Semua berubah. Ditambah ibu yang jarang ikut kegiatan di RT. Fikri mau tahu itu saja, Mbak! Biarin masalah Mbak Nina dan Mas Teguh mereka urus sendiri. Tapi, masalah ibu, Fikri perlu tahu." Bovaj itu melanjutkan argumennya dengan kalimat panjang penuh kesungguhan. Rani tahu, adik bungsunya telah benar-benar dewasa, tepat seperti harapan sang ibu ketika memiliki bayi laki-laki 9 tahun lalu.

"Fikri..." Itu panggilan Hidayah. Fikri menoleh cepat.

"Kamu masih belum cukup dewasa dan mengerti untuk mendengar alasan-alasan tangis Ibu. Kamu, cukup menjadi anak yang sholeh dan tumbuh berbakti, Ibu sudah sangat bahagia. Kelak, suatu hari nanti, ketika Ibu percaya kamu telah benar-benar dewasa, ibu pasti akan menceritakan semuanya. Apa kamu bersedia menunggu waktu itu, Fikri?" Hidayah sudah duduk tepat di belakang putra bungsunya.

Dan selalu begitu. Fikri seolah terhipnotis dengan kalimat ibunya. Ah, harusnya ia membiarkan Rani bercerita panjang lebar ketimbang hanya menjawab keingin tahuannya. Fikri tertunduk dan memberesi buku-bukunya untuk kemudian beranjak. Hidayah dan Rani masih tertinggal di tempat ketika Fikri pamit untuk masuk kamar.



🖤
Tuban, 01102018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOPBatch_6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee