Dunia Dee

Ada apa dengan dunia Dee?

Sedikit berbagi tentang bagaimana aku ingin menuliskannya, mengabadikan dalam sebuah memori yang bisa kukenang.

Keluarga

Aku pernah pada posisi paling bawah, ketika tak ada lagi orang yang bisa bertahan dengan keberadaan kita. Terlahir sebagai sulung dari empat bersaudara, aku dipaksa dewasa meski aku masih ingin menikmati masa-masa emasku. Namun, aku tak yakin bisa hidup dengan baik ketika mengabaikan mereka.

Orang tuaku jauh dari kata sempurna, namun, untuk anak-anaknya, tetap saja merekalah yang terbaik. Ibuk cenderung penyabar dan melankolis. Namun, sejauh ini, aku hampir tak pernah mendapati ibuk menangis di depan anak-anaknya. Kalaupun harus, pasti itu di luar kendali. Ia terbiasa menangis di hadapan Tuhan ketimbang memamerkan kelelahannya mengurus keempat anaknya.

Abah bukan laki-laki seperti kebanyakan. Yang bisa kuingat cuma satu. Sekalipun sosoknya memiliki tempramen tinggi, ia tak pernah menggunakan kekerasan. Selain itu, ia bisa merangkap menjadi tukang bangnan, tukang ledeng, tukang listri dan tukang-tukang lainnya. Abah juga bukan bapak humoris, namun, ketika ia tertawa, sangat kentara bahwa tawa itu lepas tanpa beban.

Anak-Anak

Semasa sekolah, aku lebih banyak dikenal dengan sifat-sifat buruk. Bagian paling parah, ketika aku di MTs. Semua guru sepakat menamaiku "Queen of Sleeping" karena kebiasaan burukku menjadi kelelawar. Parahnya, itu berlanjut sampai aliyah. Sungguh, semangat sekolahku tak pernah lebih dari 50% dan aku baru menyesalinya sekarang.

Bermula dengan sejarah itulah, aku berjanji pada diriku bahwa kelak aku tak ingin menjadi guru. Tahu kenapa? Aku dibayangi ketakutan bahwa nantinya aku dikacangi di kelas, ditinggal tidur apalagi. Namun, paradigma itu berubah drastis ketika kelas 3 aliyah, saat pesantren mengirimkan anak kelas akhir untuk imtihanul amaly.

Di desa terpencil Lamongan, selama 2 bulan aku (yang parahnya waktu itu juga jadi ketua rombongan berjumlah 6 anak) dikelilingi anak-anak MI yang menyenangkan. Kecintaanku tumbuh pelan-pelan dan tampaknya diridhai Allah hingga aku kembali ke rumah, seorang pemilik Lembaga Pendidikan Islam menawarkanku untuk mengabdi.

Hingga detik ini, terhitung hampir 8 tahun perjalananku mengabdi. Menjumpai banyak karakter anak serta orang, bergaul dengan berbagai pemikiran dan mendapati hal-hal baru dalam hidup. Tak lupa, alhamdulillah.


Buku

Kesukaanku membaca mulai muncul begitu aku mengenal huruf. Maklum, aku hanya diajari ibuk tanpa mengenyam pendidikan TK. Bahkan ibuk pernah cerita bahwa aku kecil, tak pernah melewatkan satu tulisan pun, walau hanya bungkus nasi. Sayangnya, hobi membacaku tidak bisa berimbang dengan penyediaan buku di rumah. Kelarga dengan kebutuhan padat, lagi pula, aku sudah punya adik. Hobi membacaku harus menunggu masuk SD supaya tersalurkan dan melahap seluruh buku di rak perpustakaan sekolah.

Jauh ke sini, ketika bisa menghasilkan pendapatan sendiri, cita-citaku memiliki perpustakaan pribadi mulai kucicil. Alhamdulillah, ada selemari baju (karena hanya lemari itu yang ada) buku sudah terkumpul. Tiap kali gajian atau mendapatkan uang lebih, orientasi utamaku membeli buku baru ketimbang baju atau makanan. Dan beli buku itu, nagih.

Namun, sayangnya, aku belum memiliki minat pada buku-buku terjemahan. Seleraku masih lokal dan aku berada di zona nyaman ini. Ketika berkumpul dengan banyak orang, aku merasa minder. Bacaan mereka berkelas dengan jenis buku terjemahan atau penulis luar negeri. Sangat jauh berbanding terbalik denganku. Semoga, kelak aku akan ada pada posisi itu.


Menulis

Aku kecil, rajin menuliskan buku harian. Berawal dari bullyan yang kudapat dan tak ada teman berbagi. Iya, aku hanya menuliskan semua kegiatan sehari-hariku dalam diary. Hingga akhirnya iseng menulis sebuah cerita ketika MTs. Aku tidak pernah merasa belajar menuliskan cerita, itu hanya perihal kebiasaan yang kemudian aku arahkan menjadi daya imajiku.

Dan puncaknya, ketika di aliyah. Pesantren tempatku belajar, benar-benar tidak mengizinkan novel dengan genre selain islamic. Dari situ, aku menuntut diriku untuk menulis sendiri, menghasilkan tulisan-tulisan (dalam makna sesungguhnya) yang kemudian jadi konsumsi teman-teman. Dan aku merasa bahagia. Pandanganku menulis, adalah melepaskan sekaligus membagikan kebahagiaan yang kurasa.

Semakin ke sini, aku sadar, menulis bisa jadi sebuah profesi. Bukan tak berambisi untuk jadi penulis, namun, aku lebih fokus ke arah self healingku. Menulis merupakan bentu survive terbaik untukku dari keterpurukan.


Suara

Aku kurang menyukai suasana hening. Ketika menulis atau bahkan belajar, aku lebih suka di keramaian atau ada suara yang mengiring. Bahkan, ketika masih sekolah, saat tiba masa ujian yang selalu dengan slogan "Harap Tenang, Ada Ujian", aku merasa sangat bosan. Bisa dipastikan, aku akan keluar kelas per tama kali entah itu dengan jawaban ujian benar ataupun salah.


Aku mencintai musik, irama dan suara lembut. Ukuran dangut, koplo, masih bisa ditolerir. Namun, tidak dengan musik rock. Sekali waktu, ketika benar-benar jenuh, musik rock menjadi pilihan terbaik. Tapi, jika disuruh memilih, tentu aku sangat menghindari genre musik ini. Jadi intinya, bukan tentang musiknya, tapi ada suara yang bisa kudengar, bukan bisikan sunyi.

Terbuka

Aku selalu mencintai perjalanan, apapun bentuknya. Berkendara dengan bus, motor, atau bahkan kereta. Ada kisah di setiap bagian dan bumi baru yang kuinjak. Selalu menyisakan rindu untuk dikenang. Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan lisan ketika menikmati perjalanan. Jadi, setiap jalan memiliki ceritanya masing-masing.


Aku bukan traveller yang pernah ke mana-mana. Hanya saja, aku tak pernah ingin melewatkan ajakan untuk bisa menjumpai tempat baru. Keinginan untuk bisa melakukan banyak perjalanan, semoga berimbang dengan kesehatanku.


Bumi Wali tercinta
Pada cerita yang ingin diabadikan, Dee
Allaahu yarhamunii

Tidak ada komentar: