Senin 27 Desember 2010/ 21 Muharrom 1432
Mimpi itu begitu nyata. Sangat nyata malah!
Yah. Aku menungguimu yang terbaring di ruang rawat inap. Tapi, tidak! Saat
itu, aku telah melupakanmu. Membuang jauh bayangmu, bersama kenangan yang aku
tak inginkan dia menjamur dalam ingatanku. Kutepis kenyataan bahwa itu kamu.
Dan menggantikanmu dengan seseorang. Yah! Seorang yang telah mencuri sebagian
isi hatiku.
Dan, semua terjawab.
Rabu, 26 Januari 2011/ 21 Shafar 1432
Rencana apa yang sedang Kau buat Allah?
Kau melupakan semua. Lebih tepatnya, tak lagi
ingat apapun. Sungguh kuasa Allah yang hanya menyisakan Al-Qur’an dalam
benakmu. Berita di TV seolah menjadi sangat nyata saat melihat kenyataan
tentang keadaanmu. Ingin rasanya aku ikut mendakwa “Husni Mubarok” yang telah
memuncakkan segala kerisuhan di bawah negeri yang dipimpinnya sendiri. Kamu
terluka dan menyisakan dendam dari keluarga besarmu yang menudingku. Aku
terpojok, tersudut dan harus menerima apapun yang menjadi kehendak keluargamu.
Dan aku masih belum bisa memahami, bagaimana
Allah mengatur semuanya. Mengapa masih ada aku dalam otakmu? Sedang
bersandiwarakah kamu atas insiden yang kau alami dengan mendakwa Negeri Pyramid?
Atau jangan-jangan, ini hanya permainan konyolmu untuk segera membawaku pergi
dari duniaku? Aku sedih melihat keadaanmu. Namun, aku tak bisa terima jika
memang ini hanyalah bisa-bisanya kamu untuk memenuhi inginmu saja.
Harus pada siapa
aku bertanya? Sedang melihat tangis keluarga besarmu, bagaikan luka yang terus
menghunjam seluruh relung sadarku. Aku pasrah. Beradu tangis yang sejak saat
itu menjadi teman dekatku di setiap malam yang harus kuhabiskan dengan
keberdayaanku untuk bersandiwara. Bisa kau bayangkan?
Keputusan gilamu itu banyak mengurai air mata.
Mengoyak banyak luka dari berbagai pihak. Tak terkecuali aku. Aku harus
berjuang jatuh bangun sendirian membangun keprcayaan. Meyakinkan diriku sendiri
untuk mengorbankan orang yang ‘tak seharusnya’ menjadi korban atas keegoisanmu.
Membiarkannya pergi berurai air mata kecewa atas keputusan sepihak yang belum
mampu kujelaskan bagaimana keegoisanmu itu. Aku menyimpannya sendiri. Seperti
membawa sekarung baja di punggung, kemanapun kaki melagkah. Dan sayang
disayang, tak seorangpun tahu. Karena aku tak sanggup untuk mencorang
kebaikanmu di atas keegoisanmu.
Dan aku, dengan seribu diam dan dustaku
bertahan. Menyimpannya sendiri. Karena aku tahu, tangis ketidak menerimaanku
tidak akan merubah segala apa yang telah menjadi ketetapan keluarga besarku
dan kamu. Aku berani bersumpah, jika pada saat itu kamu sedang tertawa, sedang
aku menangis, aku tak akan pernah lagi menganggap keberadaanmu di depan mataku.
Ada dan tiadamu akan kuanggap sebagai alpa kehidupanku. Tidak sadarkah kamu,
bahwa keputusan besar ini akan meleburkan semua mimpiku?
❤
Tuban, 21092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOPBatch_6 #ODOP_6
alurnya berliku, butuh kejwlian mwmaknai, juga butuh kecerdasan memahaminya... sangat bagus
BalasHapus