~~~
Bagaimana, Tasya? Apa kamu sudah memikirkan jawaban untuk pertanyaanku tempo hari?
Pesan itu sudah kuterima sejak pagi tadi sebelum berangkat kerja dan baru kubuka sore ini, ketika duduk santai di teras belakang. Berbagai jenis pertanyaan berkecamuk, memenuhi ruang pikirku. Ah, gini amat jadi jomlo di usia matang. Daripada mikirin pesan yang nggak penting, aku lebih memilih buku yang sekarang tengah kutimang, siap untuk dikhatamkan.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Riko. Kan, sudah kuduga dia bakalan telepon.
"Iya, Rik?" Sapaku santai tanpa basa-basi.
"Ayah ibumu di rumah?" Tanyanya. Kujawab tidak, karena kebetulan aku sedang berdua saja di rumah. Eh, si adek belum pulang jam segini. Doi lagi ngejar banyak jam tambahan supaya bisa masuk universitas impiannya. Kalau sudah ngomongin cita-cita dan harapan, bisa ngalah-ngalahin ayah ceramah. Oh ya, ayah ibuku sedang pergi menghadiri undangan teman sejawat mereka di luar kota. Katanya sih, malam ini balik.
"Ya sudah, besok aku balik lagi. Besok, ayah ibumu di rumah, kan? Atau ada agenda pergi lagi ke luar kota?" Tanya Riko kembali. Hm, sepertinya tidak. Jawabanku cukup singkat untuk pertanyaannya yang cukup panjang.
"Oh, ya. Kenapa pesanku nggak dibales? Barusan kamu online," tanyanya lagi. Aku meringis. Ketahuan, deh! Belum sampai menjawab, dia sudah berkata kembali, "Nggak pa-palah. Yang penting, besok bisa ketemu ayah ibumu, jawabanmu sudah nggak penting lagi." Aku terkekeh. Jelas. Ini adalah bentuk kepercayaan diri tingkat dewa. Dasar, Riko! Nggak ada berubahnya dari zaman SMA.
Usai hubungan telepon, aku kembali sibuk dengan buku di tanganku. Hati sudah mulai gelap dan mau tak mau aku harus beranjak. Mendirikan magrib, menyalakan lampu-lampu rumah dan menutup jendela. Ok! Sekarang waktunya makan. Sendirian, lagi. Mlo, jomlo...!
Eh, si adek dateng. Dia bawa bungkusan plastik. Dua buah kebab rupanya. Sambil makan gratisan, tak apa mendengarkan celoteh panjangnya.
"Jadi, aku pengennya buka bisnis ntar sambil jalan kuliah. Keren kan, anak kuliahan arsitek tapi jadi entrepreneur. Pokoknya, hidup jauh lebih baik dari cara ayah ibu dan juga Mbak Tasya sendiri. Eh, apa kabar Mas Riko yang mau ke rumah?"
Akhirnya, keberadaanku keingat olehnya. Namun, pertanyaan terakhir itu justru membuatku lebih malas untuk meladeninya. Bukan apa-apa, sudah bisa ditebak. Dia bakalan bully aku habis-habisan.
"Mas Riko aja ganteng, Mbak. Apalagi kakaknya. Mbak Tasya seriusan belum pernah ketemu dia? Kalau aku sih, ambil positifnya. Lagian, dia langsung ngajak serius begitu. Berarti, selain siap mental dan mateng secara usia, pasti dia juga sudah bener-bener mapan. Nggak jauh sama Mas Riko, kan?"
Lhoh! Dia nggak bully? Kenapa kalimatnya terkesan bijak banget? Eh, yang duduk di depanku beneran Shanti adikku, kan? Aku sampai menatapnya penuh keheranan. Padahal doi asyik nyeruput es teh di depannya. Ok, fixed! Aku kalah telak dari adikku.
Memang sudah seharusnya aku berpikir untuk pernikahan. 26 tahun dan bahkan tahun ini akan genap 27 tahun. Sesukses apapun karir dan pekerjaanku, tetap saja aku masih kalah mengejar kesuksesan, menyemournakan separuh agamaku.
Baiklah, Tasya! Besok, siapkan mentalmu untuk bertemu Raffi, kakak Riko.
🖤
Tuban, 27092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOPBatch_6 #tantangan3ODOP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee