Bismillaahirrohmaanirrohiim...
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ اَبَدًا وَاعْمَلْ لِأٰخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Entah hadits atau atsar dan sejenisnya pernyataan di atas, yang pasti hal tersebut akan memicu kita untuk semangat dalam bekerja.
Dalam pandangan islam, bekerja merupakan aktifitas ibadah yang memberikan efek posisitif, entah dalam sisi jasmaniyahnya ataupun ruhaniyahnya. Bekerja identik dengan kegiatan yang bisa menghasilkan uang serta usaha yang dilakukan untuk mendapatkan balasan berupa materi. Profesi paling menarik adalah guru.
Pernah kita dapati meme dari media sosial yang sudah merebak luas, "artis dibayar mahal untuk merusak moral anak bangsa sedang bayaran guru sedikit seksli paahal mereka bertugas mencerdaskan anak bangsa". Ditelisik dengan kacamata sisi apapun, pernyataan tersebut memang patut untuk dibenarkan. Bukan karena keberadaan masyarakat yang sok tahu, tapi dampak yang dilihat dan dirasakan memang cukup untuk dijadikn bukti dari pernyataan tersebut.
Sebenarnya, hal menarik dari guru bukan perkara tugasnya atau bayarannya(*gaji), tapi khidmahnya. Seburuk apapun seorang guru yang hanya bermotto " penting sampaikan materi, perkara murid faham atau tidak bukan urusan saya", setidaknya dalam diri mereka sudah tertancap jiwa khidmah untuk menyampaikan apa yang dia mampu. Atau mungkin ada juga beberapa guru yang berfikir "penting masuk kelas, dapat gaji". Tapi, tentunya tidak semua orang berfikir seperti ini. Masih banyak guru yang terus berjuang untuk kemajuan bangsa tanpa berfikir berapa gaji yang diterimanya atau pamrih lainnya atas usaha yang telah dilakukannya.
Karena fokus kita adalah dalam perspektif islam, maka guru yang menjadi acuan dalam pembahasan ini adalah guru mengaji. Lumrah kita ketahui bahwa untuk detik ini, tak ada satu guru pun tanpa bayaran (*gaji). Entah apa posisinya dan dimanapun tempatnya, berprofesi sebagai seorang guru mengaji, akan tetap mendapatkan bayaran. Kyai Mahrus Ali pernah dawuh, "ngulango ngaji. Sampek gak iso managan, ketok'en kupingku". Kemudian, orang-orang dengan fikiran negatifnya akan mencibir dengan keberadaan guru mengaji yang kini unuk kesejahterannya sedikit banyak sudah dipastikan oleh pemerintah. Kemudian, bagaimana orang-orang berjiwa bijak memaknai dawuh Kyai pengasuh pesantren Lirboyo ini?
Guru ngaji dengan gaji yang sebenarnya tidak cukup besar untuk menghidupi keseharian mereka, selalu mendapat tudingan negatif meski dalam prakteknya, khidmah mereka bisa langsung dirasakan oleh para santri yang pada akhirnya pandai mengaji. Sedangkan guru non-ngaji dengan gaji yang cukup atau bahkan cenderung lebih, selalu merasa kurang dengan penghasilan yang mereka terima sehingga terbukti dengan mencibir kalangan bawah yang mendapat keistimewaan lebih dengn rasa syukur mereka.
Perkara uang memang sangat sentimentil, karena sejatinya, manusia hidup lumrahnya di zaman ini hanyalah memandang dan mengukur segalanya dengan uang. Mungkin tidak semua akan bergantung dengan gaji yang didapat, namun, tidak juga semuanya bergantung dengan gaji. Setidaknya, uang selalu menjadi pertimbangan utama ketika seseorang memutuskan untuk melakoni pekerjaan.
Kita perhatikan guru ngaji yang dengan khidmahnya, bisa memastikan santri-santrinya lihai dalam hal bacaan Qur'an. Namun, hal itu bukan berarti bahwa guru yang bergaji tidak bisa memperlihatkan khidmahnya dengan memperhatikan keberhasilan peserta didik saat itu juga. Setidaknya, dalam kalimat ngaji, kita mendapati dua kata yang harusnya menjadi hak bagi mereka para pejuang Qur'an (*guru ngaji).
Kata pertama, gaji. Pertama mendengar kata gaji, bayangan kita hanya akan fokus pada materi atau uang saja. Padahal, sejatinya gaji yang dimaksud bagi mereka (guru mengaji) adalah sebaik-baik balasan dari Allah. Kebahagiaan atas kelegaan mereka karena menyampaikan ilmu dari Qur'an yang hisa berupa ketenangan hidup dalam berkeluarga ataupun bermasyarakat. Atau kalimat trend islam adalah barokah. Gaji yang cukup untuk membuat mereka memahami bahwa dawuh Kyai Mahrus Ali merupakan hakikat yang sebenarnya dan masalah gaji tidak melulu tentang uang yang berlebih sebagai balasan atas khidmah yang mereka lakukan.
Kata selanjutnya, aji. Orang jawa sering mangaitksn kata aji dengan "memanusiakan". Bahwa guru ngaji adalah mereka yang seharusnya bisa memanusiakan orang lain serta harusnya dimanusiakan oleh orang lain. Mereka mendapatkan hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dewasa ini, kebutuhan antara islami dan non-islami, seolah terdapat sekat yang saling memandang antara sati dengan yang lainnya. Oleh karena ini, wacana ini sengaja saya susun untuk menanggapi fenomena bahwa guru gaji itu sudah menjadi hak bagi semua orang yang berprofesi sebagai guru tanpa memandang posisinya, entah guru ngaji ataupun guru dalam pendidikan formal.
Stitma08112015
*merenungi masa lalu bahwa mengajar mengaji lebih tepatnya disandingkan dengan hadits Nabi
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْاٰنَ وَ عَلَّمَهُ
Wa_llaahu a'lam bishshowaab....
Dee^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee