~Omongan Orang~
🖤Dee🖤
"Fikri, belum dijemput?" Tanya Bu Lia, wali kelas Fikri di SD Tunas Harapan. Fikri yang tengah asyik membaca buku di pos satpam, menoleh kemudian tersenyum. "Nggak biasanya ibumu telat jemput? Perlu Ibu hubungi?" Wanita berseragam khaki itu menawarkan. Fikri cepat-cepat menggeleng. Wanita itu mengerutkan dahinya kemudian duduk menjejeri Fikri. Anak kelas 4 itu menutup bukunya dan terdiam sesaat ketika didekati Lia.
"Kenapa? Di rumah ada acara? Atau Ibu antar pulang saja?" Lagi-lagi ia menawarkan bantuan lain dan dengan segera pula Fikri menggeleng.
"Nanti juga ibu jemput. Mungkin, lagi di jalan. Seperti kata Bu Lia, nggak biasanya ibu sampai telat jemput, kan?" Ujar Fikri dengan senyum mungilnya. Lia ikut tersenyum melihatnya. Ada kekaguman sekaligus rasa ingin tahu di balik kalimat yang baru saja didengarnya.
"Ya, sudah. Ibu temenin sampai ibumu datang menjemput, ya?" Lia masih berusaha memberikan tawaran kebaikan.
"Sudah hampir sore, Bu. Sebaiknya, Bu Lia pulang dulu saja. Kasihan Dek Vina nungguin ibunya nggak pulang-pulang. Saya ditemeni Pak Har. Bu Lia nggak perlu repot-repot," tukas Fikri dengan santun. Lia tak lagi bisa menemukan celah untuk mengakrabkan diri melihat keengganan Fikri untuk ditemaninya. Lalu, dia pun akhirnya pulang.
Bocah berseragam putih merah itu kembali sibuk dengan buku di tangannya. Buku yang dipinjamnya saat istirahat sekolah tadi. Ensiklopedia Anak Muslim, terbitan Mizan yang melegenda. Sejam yang lalu, sejak bel kepulangan sekolah, ia sudah menelan hampir seperempat isi buku itu.
Tak lama sepeninggal Lia, jam dinding sekolah berdentang. Ah, sudah pukul 15.00 rupanya. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju Pak Har, security yang sedang ngobrol bersama penjaja makanan di luar gerbang sekolah. 15 menit lagi, anak-anak kelas 5 dan 6 waktunya pulang sekolah. Ternyata, Fikri berpamitan pada Pak Har untuk pulang seorang diri dengan jalan kaki.
Lokasi sekolah-rumah, sekitar 1 km dengan posisi beda kelurahan yang hanya dipisah jalan raya utama kota. Sebenarnya, Fikri lebih nyaman jalan kaki atau menaiki sepeda sendiri. Tapi, kekhawatiran ibunya menjadi prioritas sehingga menurut untuk diantar-jemput sekolah.
Memasuki gang arah rumahnya, langkah Fikri terhenti oleh sapaan seorang ibu berdaster hijau. "Pulang sendiri, Fik? Sekarang jarang dijemput, ya? Lha Mas Wahyu ke mana?" Begitu sapanya. Jadilah Fikri berhenti, karena jawaban itu mengharuskannya berpikir dengan jernih.
"Iya, soalnya ibu lagi banyak urusan. Mas Wahyu masih kerja," jawaban Fikri singkat, khas anak-anak seusianya. Dia baru akan kembali melangkah saat perempuan dengan bodi bak gitar spanyol itu justru mendekat ke gerbang, yang itu tandanya lebih jelas ke arah Fikri.
"Katanya, Mbak Nina di rumah, ya? Lha, Mas Teguh ke mana?" Tanyanya dengan setengaj berbisik. Fikri merasa tak perlu menjawab pertanyaan itu. Entah sebab naluri anak-anak atau justru kedewasaannya yang membuatnya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan melangkah berlalu meninggalkan wanita itu.
Fikri mempercepat langkahnya menjadi lari-lari kecil. Ia menjumpai ada beberapa pasang mata yang menangkap bayangnya. Namun, pilihannya saat ini hanya ingin segera sampai di rumah. Lapar dan ingin banyak bertanya pada sang ibu.
Ibu, Mas Wahyu kenapa lama nggak pulang? Mas Teguh juga? Bukankah Mas Teguh dan Mbak Nina baru saja menikah? Mengapa tinggal terpisah? Lalu, apa Mas Wahyu tidak tahu kalau Mbak Rani sakit-sakitan? Mengapa tak memberikan kabar atau bahkan sekadar menelepon?
Kurang lebih, itu daftar pertanyaan yang ini diajukannya pada sang ibu. Namun, sepertinya itu hanya akan jadi draft di ingatannya tanpa jawaban. Tubuhnya kaku ketika tanpa sengaja mencuri dengar percakapan sang ibu dengan kakak sulungnya.
Fikri masuk ke kamarnya dan melihat bayangan dirinya di dalam kaca.
Ya Allaah. Mana yang harus aku percaya? Engkau yang nggak pernah tidur tapi menguji ibuku di luar batas kemampuannya, atau kalimat ibu bahwa Kau hanya melatih kesabaran ibu? Aku ingin cepat menjadi dewasa, Allaah...
Fikri bersimpuh di sisi tempat tidurnya, menangis memeluk lutut menyembunyikan isaknya. Diam-diam, ia menyesal karena masuk rumah tanpa salam. Andai dia salam lebih dulu, mungkin ia tidak akan pernah mendengar sesuatu yang baru saja didapatinya. Bocah 9 tahun itu, terlalu dewasa untuk memahami apa yang telah didengarnya barusan. Namun, ia sangat cerdas bersikap.
Fikri, bocah itu dewasa sebelum waktunya.
🖤
Tuban, 17092018
#muthyasadeea #tulisandee #karyadee
#komunitasonedayonepost #ODOP_6 #ODOPBatch_6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee