Sabtu, 14 November 2015

MAWAR (Duri 2)

Sebagai seorang muslimah yang taat, Mawar tahu kewajibannya sebagai seorang istri. Ia menjalani perannya dengan baik. Menyiapkan baju kerja Idris, sarapan dan makan siang-malamnya, melayani semua kebutuhan suaminya. Tapi, tak ada raut bahagia terpancar dari wajahnya. Bahkan, dia hampir tak pernah bicara sepatah kata pun terhadap Idris. Di setiap malam, ia juga menghindari untuk tidur seranjang dengan suami sahnya tersebut. Dia sukses memendam semua perasaannya sendiri dan tak mengadu pda seorang pun.
Ayahnya, Pak Hasan, yang juga tinggal seatap dengan mereka, justru berubah drastis setelah Mawar berkeluarga. Densitas komunikasi hampir lenyap. Rumah yang cukup sederhana  itu bak kuburan, terdapat banyak kehidupan namun tanpa suara. Biasanya, sedikit banyak, ia masih bisa tertawa dengan putri bungsunya, si Mawar.
Memang, sejak peristiwa meninggalnya Aminah, istri Pak Hasan, dia cenderung lebih pendiam, bukan lagi Ayah Hasan yang humoris. Hal itu terjadi tiga tahun sebelum insiden perjodohan paksa Mawar-Idris yabg dilakukan Pak Hasan.
Waktu itu, baik Mawar dan Alba berada di kelas akhir. Biaya sekolah terasa berlipat-lipat. Pak Hasan yang hanya kerja serabutan, membuat Aminah juga turun tangan membantu perekonomian keluarga. Dia bekerja di sebuah rumah makan sebagai buruh cuci. Gajinya tak seberapa tapi cukup untuk menunjang pendidikan kedua anaknya.
Keluarga Pak Hasan aalah keluarga harmonis yang dikenal baik oleh warga sekitar. Keberadaan keluarga ini membuat siapap pun iri dengan keharmonisan mereka. Namun, segalanya berubah ketika rumah makan tempat Aminah bekerja mengalami kebakaran. Saat itu, Aminah terjebak di dalam dapur seorang diri. Dia berusaha menghubungi suaminya melalui ponsel butut yang selalu ia bawa kemana-mana. Panggilan yang dilakukannya bahkan sudah lebuh dari sepuluh kali hingga pada akhirnya dia pasrah. Api melahap ganas tubuhnya.
Ketika itu, Alba yang pulang sekolah segera mencari ayahnya begitu mendengar kabar kebakaran. Ia mendapati ayahnya sedang asyik ngopi di warung. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengambil ponsel ayahnya. Ia semakin kalap kemudian berlalu dengan langkah penuh amarah.
Dan semuanya berubah.
Alba tidak bisa menerima kematian ibunya dan melimpahkan segalanya pada ayahnya. Ia mendakwa Pak Hasan yang justru lebih asyik dengan kopi daripada menerima panggilan ibunya. Hal itu berimbas buruk pada hubungan ayah dan anak hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah.
Saat itu, Mawar 15 tahun, tidak tahu harus apa. Di tidak bisa menunggalkan ayahnya atau juga membiarkan kakaknya pergi begitu saja tanpa tujuan. Jalan tengah yang mereka cetuskan sendiri, Alba akan sering-sering pulang dan tidak akan tinggal di rumah itu. Meski berat, hanya itu pilihan yang bisa diterima Mawar.
"Mawar...", panggilan itu membuyarkan lamunan Mawar yang tengah duduk terdiam di teras rumah. Ia menoleh. Itu suara ayahnya.
"Sepertinya, ayah pindah saja dari rumah ini. Kamu tempati saja dengan Idris. Ayah akan membersihkan rumah yang di samping kebun", ujar Pak Hasan setelah duduk berdampingan dengan putri bungsunya tersebut.
Seperti tanpa gairah atau bahkan ruh di dalamnya, Mawar mengangguk pelan. Entah apa yang ada di kepalanya. Sejak sebulan lalu, tepat usai pernikahannya, Mawar bahkan hanya berkata ya atau terserah dalam sehari-harinya.
Idris adalah yatim piatu dari kampung sebelah. Dia bukan orang yang berada atau setidaknya sukses finansial. Phisicly, tak ada yang menarik darinya. Sehari-hari hanya ia habiskan dengan bekerja sebagai buruh pabrik.

Setiap hari, Mawar selalu menangis, tangis yang ia simpan sendiri. Entah bagaimana perasaannya, yang pasti, tak seorangpun mengetahui hatinya. Tentangnya yang tak bisa mencintai laki-laki yang sah menikahinya. Entah untuk waktu berapa lama. Ia juga bahkan tak pernah lelah meminta pada Tuhannya agar suatu jelak memberikan kebahagiaan yang ia idamkan.

Dan hari itu...

Mawar di rumah sendiri. Ia berfikir untuk membereskan rumah. Entah apa yang direncanakannya, ia ingin berbenah. Lemari di ruang tamu, ruang tengah juga kamarnya. Sejenak, ia tertegun. Tatapannya tertumpu pada setumpuk buku. Ah! Rupanya buku-buku itu adalah pemberian Vijai. Masalalunya kembali terusik.

Apa yang sebenarnya terjadi dimasa lalu tentang Mawar-Vijai?

Mungkin cinta...

Atau bisa jadi, kisah cinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak ya...
Salam kenal, Dee